PENILAIAN DALAM KURIKULUM 2013

  BAB I  PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengetahui hasil yang telah dicapai oleh pendidik dalam proses pembelajaran adalah melalui evaluasi. Evaluasi merupakan sub sistem yang sangat penting dan sangat dibutuhkan dalam setiap sistem pendidikan, karena evaluasi dapat mencerminkan seberapa jauh perkembangan atau kemajuan hasil pendidikan. Dalam setiap pembelajaran, pendidik harus berusaha mengetahui hasil dari proses pembelajaran yang dilakukan. Pentingnya diketahui hasil ini karena dapat menjadi salah satu patokan bagi pendidik untuk mengetahui sejauh mana proses pembelajaran yang dilakukan dapat mengembangkan potensi peserta didik. Dengan evaluasi, maka maju dan mundurnya kualitas pendidikan dapat diketahui, dan dengan evaluasi pula, kita dapat mengetahui titik kelemahan serta mudah mencari jalan keluar untuk berubah menjadi lebih baik ke depan. Suatu sistem adalah jalinan antar beberapa komponen yang saling terkait dan saling mempengaru

FILSAFAT KONTRUKSIVISME


BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Filsafat adalah ilmu yang berupaya untuk memahami hakikat alam dan realitas dengan mengandalkan akal budi. Plato memiliki berbagai gagasan tentang filsafat. Plato pernah mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berusaha meraih kebenaran yang asli dan murni. Selain itu, Plato juga mengatakan bahwa filsafat adalah penyelidikan tentang sebab-sebab dan asas-asas yang paling akhir dari segala sesuatu yang ada.
Aristoteles (murid Plato) juga memiliki beberapa gagasan mengenai filsafat. Aristoteles mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang senantiasa berupaya mencari prinsip-prinsip dan penyebab-penyebab dari realitas yang ada. Aristoteles pun mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berupaya mempelajari “peri ada selaku peri ada” (being as being) atau “peri ada sebagaimana adanya” (being as such).
Rene Descartes, filsuf Prancis yang termasyhur dengan argumen, “je pense, donc je suis”, atau dalam bahasa Latin, “cogito ergo sum” (“aku berpikir maka aku ada”), mengatakan filsafat adalah himpunan dari segala pengetahuan yang pangkal penyelidikannya adalah mengenai Tuhan, alam dan manusia.
Bagi William James, filsuf Amerika yang terkenal sebagai contoh pragmatisme dan pluralisme, filsafat adalah suatu upaya yang luar biasa hebat untuk berpikir jelas dan terang. R. F. Beerlingm yang pernah menjadi Pendidik besar filsafat di Universitas Indonesia, dalam bukunya Filsafat Dewasa Ini mengatakan bahwa filsafat, “memajukan pertanyaan tentang kenyataan seluruhnya atau tentang hakikat, asas, prinsip dari kenyataan”. Beerlingm juga mengatakan bahwa filsafat adalah suatu usaha untuk mencapai radix atau akar kenyataan dunia wujud, juga akar pengetahuan tentang diri sendiri (Rapar, 1996: 15).
Konsep atau gagasan dan definisi yang begitu banyak tidak perlu membingungkan, bahkan sebaliknya justru menunjukkan betapa luasnya samudera filsafat itu sehingga tidak terbatasi oleh sejumlah batasan yang akan mempersempit ruang gerak filsafat. Perbedaan-perbedaan itu sendiri merupakan suatu keharusan bagi filsafat sebab kesamaan dan kesatuan pemikiran serta pandangan justru akan mematikan dan menguburkan filsafat untuk selama-lamanya.
Cukup lama diterima bahwa pengetahuan harus merupakan representasi (gambaran atau ungkapan) kenyataan dunia yang terlepas dari pengamatan (objektivisme). Pengetahuan dianggap sebagai kumpulan fakta. Namun akhir-akhir ini terlebih dalam bidang sains, diterima bahwa pengetahuan tidak lepas dari subjek yang sedang belajar mengerti. Pengetahuan lebih dianggap sebagai suatu proses pembentukan (kontruksi) yang terus menerus, terus berkembang dan berubah.
Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri (Von Glasersfeld dalam Bettencourt, 1989 dan Matthews, 1994). Von Glaserdfeld menegaskan bahwa pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari kenyataan (realitas). Pengetahuan bukanlah gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan selalu merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif kenyataan melalui kegiatan seseorang. Seseorang membentuk skema, kategori, konsep dan struktur pengetahuan yang diperlukan untuk pengetahuan (Bettencourt, 1989). Maka pengetahuan bukanlah tentang dunia lepas dari pengamat tetapi merupakan ciptaan manusia yang dikonstruksikan dari pengalaman atau dunia sejauh dialaminya. Piaget (Suparno, 1997) menyatakan proses pembentukan ini berjalan terus menerus dengan setiap kali mengadakan reorganisasi karena adanya suatu pemahaman yang baru.
Dalam proses pendidikan, aliran konstruktivisme menghendaki agar peserta didik dapat menggunakan kemampuannya secara konstruktif  untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan perkembangan ilmu dan teknologi. Peserta didik harus aktif mengembangkan pengetahuan, sehingga peserta didik memiliki kreativitas untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan, aliran ini mengutamakan peran peserta didik dalam berinisiatif.
Pendidikan memiliki peran yang sangat penting dalam keseluruhan hidup manusia. Pendidikan merupakan interaksi antara pendidikan dan peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan. Dalam interaksi tersebut terlibat isi yang diinteraksikan serta proses bagaimana interaksi tersebut berlangsung. Apakah yang menjadi tujuan pendidikan, siapakah pendidik dan terdidik, apa isi pendidikan dan bagaimana proses interaksi pendidikan tersebut, merupakan pertanyaan-pertanyaan yang membutuhkan jawaban yang mendasar, yang esensial, yakni jawaban-jawaban filosofis.
Penerapan dalam proses pendidikan aliran konstruktivisme memberikan keleluasaan pada peserta didik untuk aktif membangun kebermaknaan sesuai dengan pemahaman yang telah mereka miliki, memerlukan serangkaian kesadaran akan makna bahwa pengetahuan tidak bersifat obyektif atau stabil, tetapi bersifat temporer atau selalu berkembang tergantung pada persepsi subyektif individu dan individu yang berpengetahuan menginterpretasikan serta mengonstruksi suatu realisasi berdasarkan pengalaman dan interaksinya dengan lingkungan. Pengetahuan berguna jika mampu memecahkan persoalan yang ada.
B.  Rumusan Masalah
  1. Apa itu filsafat dan filsafat konstruktivisme?
  2. Apa itu filsafat konstruktivisme?
  3. Bagaimana pandangan filsafat konstruktivisme terhadap pendidikan ?
  4. Bagaimana filsafat konstruktivisme dalam praksis pendidikan?
C.  Tujuan
  1. Mengetahui apa itu filsafat.
  2. Mengetahui apa itu filsafat konstuktivisme.
  3. Mengetahui pandangan filsafat konstruktivisme terhadap pendidikan.
  4. Mengetahui aliran filsafat konstruktivisme dalam praksis pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian Filsafat
Menurut Plato (427-437 SM), filsafat adalah pengetahuan tentang segala yang ada. Sementara, menurut Aristoteles, filsafat adalah segala usaha dalam mencari kebenaran. Sedangkan, Marcus Tullius Cicero (106-43SM), politikus dan ahli pidato yang amat kondang pada zaman Romawi, mengatakan bahwa filsafat adalah sesuatu yang mahaagung dan perbagai upaya dalam mencapai hal tersebut. Pada masa-masa selanjutnya, gaya para filsuf dalam mendefinisikan filsafat tampak makin bervariasi, sekalipun tetap “membingungkan” kita. Al-Farabi (wafat 950 M), seorang filsuf muslim terbesar sebelum Ibnu Sina, contohnya, menegaskan filsafat adalah penyelidikan tentang hakikat terdalam alam yang wujud. Sedangkan, Immanuel Kant (1724-1804), filsuf besar Jerman yang ajarannya disebut kritisisme, mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu pokok dan pangkal segala pengetahuan yang di dalamnya tercakup empat persoalan, yakni: (1) apakah kita dapat diketahui (dijawab oleh metafisika); (2) apakah yang boleh kita kerjakan (dijawab oleh etika); (3) sampai dimanakah pengharapan kita (dijawab oleh agama); dan (4) apakah yang dinamakan manusia (dijawab oleh antropologi). Dalam kaitan ini, gaya para filsuf Tanah Air pun tak boleh kita abaikan. Menurut N. Drijarkara (1913-1967), misalnya, filsafat adalah pikiran manusia yang radikal. Artinya, filsafat lebih memandang segala persoalan hidup dan kehidupan secara kritis dengan membongkar akarnya, sehingga seringkali tampak seolah-olah di luar kebiasaan umum. Jika filsafat berbicara tentang masyarakat, hukum, sosiologi, atau kesusilaan, fokusnya tidak diarahkan ke  sebab-sebab yang terdekat, yang praktis, atau yang sesuai dengan pendapat mayoritas masyarakat, melainkan justru menyelam ke akar persoalan atau ke ini, “mengapa” yang terakhir (Wibowo, 2006: 98).
Pertanyaan-pertanyaan tentang asal dan tujuan, tentang hidup dan kematian, tentang hakikat manusia, tidak terjawab oleh ilmu pengetahuan. Pertanyaan-pertanyaan ini mungkin juga tidak pernah akan terjawab oleh filsafat. Namun, filsafat adalah tempat dimana pertanyaan-pertanyaan ini dikumpulkan, diterangkan, dan diteruskan. Filsafat adalah suatu ilmu tanpa batas. Filsafat tidak menyelidiki salah satu segi dari kenyataan saja, melainkan apa saja yang menarik perhatian manusia. Di universitas-universitas, fakultas filsafat sering disebut “fakultas sentral” atau “inter-fakultas”. Karena semua fakultas lain – yang selalu menyelidiki salah satu dari segi kenyataan 0 (nol) menjumpai pertanyaan-pertanyaan yang membutuhkan refleksi yang tidak lagi termasuk bidang khusus mereka, misalnya pertanyaan tentang batas-batas pengetahuan kita, tentang asal bahasa, tentang hakikat hidup, tentang hubungan badan dan jiwa, tentang hakikat materi, tentang dasar moral. Perbedaan antara filsafat dan ilmu pengetahuan menjadi jelas kalau kita membandingkan definisi ilmu pengetahuan dengan definisi filsafat. Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan metodis sistematis, dan koheren (bertalian) tentang suatu bidang tertentu dari kenyataan (Hamersma, 2008: 10).
Hamersma (2008: 11) memaparkan filsafat adalah pengetahuan metodis, sistematis, dan koheren tentang seluruh kenyataan. Filsafat tidak memperlihatkan banyak kemajuan dalam penyelidikan ini. Hasil dari ilmu-ilmu khusus besar luar biasa. Dibandingkan dengan itu, hasil dari filsafat kelihatannya kurang konkret dan kurang berguna. Namun demikian, filsafat masih tetap dibutuhkan sebagai suatu forum, suatu tempat dimana dibicarakan sial-soal yang datang sebelum dan sesudah semua ilmu lain.
B.       Filsafat Konstruktivisme
Konstruktivisme berasal dari kata konstruktiv dan isme. Konstruktiv berarti bersifat membina, memperbaiki, dan membangun. Sedangkan Isme dalam kamus Bahasa Inonesia berarti paham atau aliran. Konstruktivisme merupakan aliran filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita merupakan hasil konstruksi kita sendiri.
Para konstruktivis menjelaskan bahwa satu-satunya alat/sarana yang tersedia bagi seseorang untuk mengetahui sesuatu adalah indranya. Seseorang berinteraksi dengan objek dan lingkungan dengan melihat, mendengar, menjamah, mencium, dan merasakannya. Dari sentuhan indrawi itu seseorang membangun gambaran dunianya. Misalnya, dengan mengamati air, bermain dengan air, mengecap air, dan menimbang air, seseorang membangun gambaran pengetahuan tentang air. Para konstruktivis percaya bahwa pengetahuan itu ada dalam diri seseorang yang sedang mengetahui. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak seorang (pendidik) ke kepala orang lain (peserta didik). Peserta didik sendirilah yang harus mengartikan apa yang telah diajarkan dengan menyesuaikan terhadap pengalaman-pengalaman mereka (Lorsbach & Tobin, dalam Suparno, 1997: 19).
Menurut Von Glaserfekd (Suparno, 1997: 19), pengetahuan itu dibentuk oleh struktur konsepsi seseorang sewaktu dia berinteraksi dengan lingkungannya. Lingkungan dapat berarti dua macam. Pertama, bila kita berbicara tentang diri kita sendiri, lingkungan menunjuk pada keseluruhan objek dan semua relasinya yang kita abstraksikan dari pengalaman. Kedua, bila kita memfokuskan diri pada suatu hal tertentu, lingkungan menunjuk pada sekeliling hal itu yang telah kita sosialisasikan. Dalam hal ini, baik hal itu maupun sekelilingnya merupakan lingkup pengalaman kita sendiri, bukan dunia objektif yang lepas dari pengamat.
Von Glasersfeld (Suparno, 1997: 19) menjelaskan struktur konsepsi tersebut membentuk pengetahuan bila struktur itu dapat digunakan dalam menghadapi pengalaman-pengalaman mereka ataupun dalam menghadapi persoalan-persoalan mereka yang berkaitan dengan konsepsi tersebut. Bila konsep ataupun abstraksi seseorang terhadap sesuatu dapat menjelaskan macam-macam persoalan yang berkaitan, maka konsep itu membentuk pengetahuan seseorang akan hal itu. Misalnya konsepsi seseorang akan ciri-ciri seorang wanita dibandingkan dengan seorang lelaki akan menjadi suatu pengetahuan tentang “ciri-ciri wanita”, bila konsepsi itu dapat digunakan dalam menganalisis wanita-wanita lain yang dijumpainya dan dapat membedakan antara wanita dan lelaki yang dijumpainya.
Von Glasersfeld (Suparno, 1997: 26-27) membedakan adanya tiga taraf konstruktivisme diantaranya sebagai berikut.
Kostruktivisme radikal
Kaum konstruktivis radikal mengesampingkan antara pengetahuan dan kenyataan sebagai suatu kriteria kebenaran. Bagi konstruktivis radikal, pengetahuan tidak merefleksikan suatu kenyataan ontologis objektif, tetapi merupakan suatu pengaturan dan organisasi dari suatu dunia yang dibentuk oleh pengalaman seseorang. Konstruktivisme radikal berpegang bahwa kita hanya dapat mengetahui apa yang dibentuk/dikonstruksi oleh pikiran kita. Bentukan itu harus berjalan dan tidak harus selalu merupakan representasi dunia nyata. Adalah suatu ilusi bila percaya bahwa apa yang kita ketahui itu memberikan gambaran akan dunia nyata.
Pengetahuan selalu merupakan konstruksi dari seseorang yang mengetahui, maka tidak dapat ditransfer kepada penerima yang pasif. Penerima sendiri yang harus mengkonstruksi pengetahuan itu. Semua yang lain, entah objek maupun lingkungan, hanyalah sarana untuk terjadinya konstruksi tersebut.
Dalam pandangan konstruktivisme radikal sebenarnya tidak ada konstruksi sosial, di mana pengetahuan itu dikonstruksikan bersama, karena masing-masing orang harus menyimpulkan dan menangkap sendiri makna terakhir. Pandangan orang lain adalah bahan untuk dikonstruksikan dan diorganisasikan dalam pengetahuan yang sudah dipunyai orang itu sendiri.
Konstruktivisme tidak dapat melihat dunia pengalaman kita dari luar. Kita membentuknya dari dalam dan hidup dengannya lama sebelum kita bertanya dari mana dan apa itu sebenarnya.
Realisme Hipotesis
Menurut Realisme hipotesis, pengetahuan (ilmiah) kita dipandang sebagai suatu hipotesis dari suatu struktur kenyataan dan berkembang menuju suatu pengetahuan yang sejati, yang dekat dengan realitas (Munevar, 1981 dalam Bettencourt, 1989). Menurut Manuvar, pengetahuan kita memunyai relasi dengan kenyataan tetapi tidak sempurna. Menurutnya pula, Lorenz dan Popper dan banyak epistimolog evolusioner dapat dikatakan termasuk realisme hipotesis.
Konstruktivisme yang biasa
Aliran ini tidak mengambil semua konsekuensi konstruktivisme. Menurut aliran ini, pengetahuan kita merupakan gambaran dari relaitas itu. Pengetahuan kita dipandang sebagai suatu gambaran yang dibentuk dari kenyataan suatu objek dalam dirinya sendiri.
C.      Pandangan Filsafat Konstruktivisme terhadap Pendidikan
Salah satu tujuan pendidikan nasional adalah untuk membantu generasi muda menjadi manusia yang utuh, yang pandai dalam bidang pengetahuan, bermoral, berbudi luhur, peka terhadap orang lain, beriman, dan lain-lain; pendidikan juga mempunyai peran untuk membantu orang muda masuk ke dalam masyarakat dan ikut terlibat di dalam masyarakat secara bertanggungjawab. Secara konkret dalam situasi Indonesia dewasa ini, pendidikan nasional juga mempunyai tujuan untuk membantu orang muda menjadi warga negara yang baik dan bertanggungjawab. Artinya, pendidikan nasional dapat ikut terlibat dalam meningkatkan hidup bernegara dan bermasyarakat. Tentu yang diharapkan bahwa mereka dapat terlibat sebagai warga yang aktif, yang ikut menegakkan demokratisasi negara ini (Suparni dkk, 2002: 14).
Maka proses pendidikan juga perlu membentuk peserta didik mengenal masyarakatnya, peka terhadap situasi masyarakatnya, aktif ikut berpikir dan bertanggungjawab terhadap masyarakatnya. Dalam proses masyarakat yang demokratis, mereka harus ikut berpikir kritis, menyumbang kepada masyarakat, dan diberi peran oleh masyarakat (Suparni dkk, 2002: 15).
Bagian yang penting dalam pendidikan formal di sekolah adalah membantu peserta didik untuk mengetahui sesuatu, terutama pengetahuan. Secara sederhana, bagaimana membantu peserta didik untuk menguasai bahan pelajaran yang diberikan oleh pendidik. Tugas pendidik adalah mentransfer pengetahuan itu ke dalam otak peserta didik, sehingga peserta didik menjadi tahu. Maka, peserta didik tinggal membuka otaknya dan menerima pengetahuan itu, atau seringkali diungkapkan bahwa peserta didik itu seperti tabula rasa, kertas putih kosong. Sedangkan tugas pendidik adalah memberi tulisan-tulisan pada kertas kosong tersebut.
Menurut filsafat konstruktivisme (dalam Suparni dkk, 2002: 16) yang berbeda dengan filsafat klasik, pengetahuan itu adalah bentukan (konstruksi) peserta didik sendiri yang sedang belajar. Pengetahuan peserta didik akan anjing adalah bentukan peserta didik sendiri yang terjadi karena peserta didik megolah, mencerna, dan akhirnya merumuskan dalam otaknya pengertian akan anjing. Pengetahuan itu kebanyakan dibentuk lewat pengalaman indrawi, lewat melihat, menjamah, membau, mendengar, dan akhirnya merumuskannya dalam pikiran. Dalam pengertian konstruktivisme, pengetahuan itu merupakan proses menjadi, yang pelan-pelan menjadi lebih lengkap dan benar. Sebagai contoh, pengetahuan peserta didik tentang kucing terus berkembang dari pengertian yang sederhana, tidak lengkap, dan semakin peserta didik dewasa serta mendalami banyak hal tentang kucing, maka pengetahuannya tentang kucing akan bertambah lengkap.
1. Hakikat Pendidikan Menurut Aliran Filsafat Konstruktivisme
Teori konstruktivisme merupakan suatu proses pembelajaran yang mengondisikan peserta didik untuk melakukan proses aktif membangun konsep baru, pengertian baru, dan pengetahuan baru berdasarkan data. Oleh karena itu proses pembelajaran harus dirancang dan dikelola sedemikian rupa sehingga mampu mendorong peserta didik untuk mengorganisasi pengalamannya sendiri menjadi pengetahuan yang bermakna. Teori ini mencerminkan peserta didik memiliki kebebasan berpikir yang bersifat eklektik, artinya peserta didik dapat memanfaatkan teknik belajar apapun asal tujuan belajar dapat tercapai.
2. Tujuan Umum Pendidikan Menurut Aliran Filsafat Konstruktivisme
Menurut paham konstruktivisme, pengetahuan diperoleh melalui proses aktif individu mengkonstruksi arti dari suatu teks, pengalaman fisik, dialog, dan lain-lain melalui asimilasi pengalaman baru dengan pengertian yang telah dimiliki seseorang. Tujuan pendidikannya menghasilkan individu yang memiliki kemampuan berpikir untuk menyelesaikan persoalan hidupnya. Tujuan filsafat pendidikan memberikan inspirasi bagaimana mengorganisasikan proses pembelajaran yang ideal. Teori pendidikan bertujuan menghasilkan pemikiran tentang kebijakan dan prinsip-rinsip pendidikan yang didasari oleh filsafat pendidikan. Praktik pendidikan atau proses pendidikan menerapkan serangkaian kegiatan berupa implementasi kurikulum dan interaksi antara pendidik dengan peserta didik guna mencapai tujuan pendidikan dengan menggunakan rambu-rambu dari teori-teori pendidikan. Peranan filsafat pendidikan memberikan inspirasi, yakni menyatakan tujuan pendidikan negara bagi masyarakat, memberikan arah yang jelas dan tepat dengan mengajukan pertanyaan tentang kebijakan pendidikan dan praktik di lapangan dengan menggunakan rambu-rambu dari teori pendidik. Seorang pendidik perlu menguasai konsep-konsep yang akan dikaji serta pedagogi atau ilmu dan seni mengajar materi subyek terkait, agar tidak terjadi salah konsep atau miskonsepsi pada diri peserta didik.
3. Hakikat Pendidik Menurut Aliran Filsafat Konstruktivisme
Suparno (1997:16) menyatakan bahwa peran pendidik dalam aliran konstruktivisme ini adalah sebagai fasilitator dan mediator yang memiliki tugas memotivasi dan membantu peserta didik untuk mau belajar sendiri dan merumuskan pengetahuannya. Selain itu pendidik juga berkewajiban untuk mengevaluasi gagasan-gagasan peserta didik itu, sesuaikah dengan tujuan pendidikan atau tidak. Fungsi sebagai mediator dan fasilitator ini dapat dijabarkan dalam beberapa tugas antara lain sebagai berikut.
  1. Menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan peserta didik ikut bertanggung jawab dalam membuat desain, proses, dan penelitian.
  2. Pendidik menyediakan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang keingin-tahuan peserta didik, membantu mereka untuk mengekspresikan gagasan mereka dan mengkomunikasikan ide ilmiahnya.
  3. Memonitor, mengevaluasi dan menunjukkan apakah pemikiran peserta didik itu jalan atau tidak. Pendidik menunjukkan dan mempertanyakan apakah pengetahuan peserta didik itu berlaku untuk menghadapi persoalan baru yang berkaitan. Pendidik membantu dalam mengevaluasi hipotesa dan kesimpulan peserta didik.
  4. Paham konstruktivisme menuntut pendidik umtuk menguasai dan mengenai pengetahuan dari bahan yang mau diajarkan. Pengetahuan yang luas dan mendalam akan memungkinkan seorang pendidik menerima pandangan dan gagasan peserta didik yang berbeda dan juga memungkinkan untuk menunjukkan apakah gagasan peserta didik itu jalan atau tidak.
4. Hakikat Peserta Didik Menurut Aliran Filsafat Konstruktivisme
Para peserta didik menciptakan atau membentuk pengetahuan mereka sendiri melalui tingkatan atau interaksi dengan dunia. Peserta didik tidak lagi diposisikan bagaikan bejana kosong yang siap diisi. Peserta didik diberikan kebebasan untuk mencari arti sendiri dari apa yang mereka pelajari. Ini merupakan proses menyesuaikan konsep dan ide-ide baru dengan kerangka berpikir yang telah ada dalam pikiran mereka dan peserta didik bertanggung jawab atas hasil belajarnya. Peserta didik membawa pengertian yang lama dalam situasi belajar yang baru. Peserta didik sendiri yang membuat penalaran atas apa yang dipelajarinya dengan cara mencari makna, membandingkannya dengan apa yang telah ia ketahui dengan apa yang ia perlukan dalam pengalaman yang baru.
5. Hakikat Pembelajaran Menurut Aliran Filsafat Konstruktivisme
Menurut kaum konstruktivis, belajar merupakan proses aktif pelajar mengkonstruksikan arti sebuah teks, dialog, pengalaman fisis, dan lain-lain. Belajar juga merupakan proses mengasimilasikan dan menghubungkan pengalaman atau bahan yang dipelajari dengan pengertian yang sudah dipunyai seseorang sehingga pengertiannya dikembangkan. Proses tersebut antara lain bercirikan sebagai berikut:
  1. Belajar berarti membentuk makna. Makna diciptakan oleh peserta didik dari apa yang mereka lihat, dengar, rasakan dan alami. Konstruksi arti itu dipengaruhi oleh pengertian yang telah ia punyai.
  2. Konstruksi arti adalah proses yang terus menerus. Setiap kali berhadapan dengan fenomena atau persoalan yang baru, diadakan rekonstruksi, baik secara kuat maupun lemah.
  3. Belajar bukanlah kegiatan mengumpulan fakta, melainkan lebih suatu pengembangan pemikiran dengan membuat pengertian yang baru. Belajar bukanlah hasil perkembangan, melainkan merupakan perkembangan itu sendiri (Fosnot, 1996), suatu perkembangan yang menuntut penemuan dan pengaturan kembali pemikiran seseorang.
  4. Proses belajar yang sebenarnya terjadi pada waktu skema seseorang dalam keraguan yang merangsang pemikiran lebih lanjut situasi ketidakseimbangan (disequilibrium) adalah situasi yang baik untuk memacu belajar.
  5. Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman pelajar dengan dunia fisik dan lingkungan.
  6. Hasil belajar seseorang tergantung pada apa yang telah diketahui pelajar konsep-konsep, tujuan, dan motivasi yang mempengaruhi interaksi dengan bahan yang dipelajari (Paul Suparno, 2001:61).
D. Filsafat Konstruktivisme dalam Praksis Pendidikan
Kaum konstruktivis personal berpendapat bahwa pengetahuan diperoleh melalui konstruksi individual dengan melakukan pemaknaan terhadap realitas yang dihadapi dan bukan lewat akumulasi informasi. Implikasinya dalam proses pembelajaran adalah bahwa pendidik tidak dapat secara langsung memberikan informasi, melainkan proses belajar hanya akan terjadi bila peserta didik berhadapan langsung dengan realitas atau objek tertentu. Pengetahuan diperoleh oleh peserta didik atas dasar proses transformasi struktur kognitif tersebut. Dengan demikian tugas pendidik dalam proses pembelajaran adalah menyediakan objek pengetahuan secara konkret, mengajukan pertanyaan-pertanyaan sesuai dengan pengalaman peserta didik atau memberikan pengalaman-pengalaman hidup konkret (nilai-nilai, tingkah laku, sikap) untuk dijadikan objek pemaknaan.
Kaum konstruktivis berpendapat bahwa pengetahuan dibentuk dalam diri individu atas dasar struktur kognitif yang telah dimilikinya, hal ini berimplikasi pada proses belajar yang menekankan aktivitas personal peserta didik. Agar proses belajar dapat berjalan lancar maka pendidik dituntut untuk mengenali secara cermat tingkat perkembangan kognitif peserta didik. Atas dasar pemahamannya pendidik merancang pengalaman belajar yang dapat merangsang struktur kognitif anak untuk berpikir, berinteraksi membentuk pengetahuan yang baru. Pengalaman yang disajikan tidak boleh terlalu jauh dari pengetahuan peserta didik tetapi juga jangan sama seperti yang telah dimilikinya. Pengalaman sedapat mungkin berada di ambang batas antara pengetahuan yang sudah diketahui dan pengetahuan yang belum diketahui sebagai zone of proximal development of knowledge.
Bagi kaum konstruktivis, belajar adalah proses mengkonstruksi pengetahuan. Proses konstruksi itu dilakukan secara pribadi dan sosial. Proses ini adalah proses aktif, sedangkan mengajar bukanlah memindahkan pengetahuan dari pendidik ke peserta didik, melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan peserta didik membangun sendiri pengetahuannya. Mengajar berarti partisipasi dengan peserta didik dalam membentuk pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan, dan bersikap kritis. Jadi mengajar adalah suatu bentuk belajar sendiri.
Dalam aliran kostruktivisme, pendidik bukanlah seseorang yang maha tahu dan peserta didik bukanlah yang belum tahu, karena itu harus diberi tahu. Dalam proses belajar, peserta didik aktif mencari tahu dengan membentuk pengetahuannya, sedangkan pendidik membantu agar pencarian itu berjalan baik. Dalam banyak hal Pendidik dan peserta didik bersama-sama membangun pengetahuan. Dalam hal ini hubungan pendidik dan peserta didik lebih sebagai mitra yang bersamasama membangun pengetahuan.
BAB III
PENUTUP
Konstruktivisme beranggapan bahwa pengetahuan adalah hasil konstruksi manusia. Manusia mengkonstruksi pengetahuan mereka melalui interaksi mereka dengan objek, fenomen, pengalaman dan lingkungan mereka. Suatu pengetahuan dianggap benar apabila pengetahuan itu dapat berguna untuk menghadapi dan memecahkan persoalan atau fenomen yang tidak sesuai. Bagi konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja dari seseorang kepada yang lain, tetapi harus diinterpretasikan sendiri oleh maing-masing orang. Tiap orang harus mengkonstruksi pengetahuan sendiri. Pengetahuan bukan sesuatu yang sudah jadi, melainkan suatu proses yang berkembang terus menerus.
Beberapa faktor seperti keterbatasan pengalaman konstruksi yang terdahulu, dan struktur kognitif seseorang dapat membatasi pembentukan pengetahuan orang tersebut. Sebaliknya, situasi konflik atau anomali yang membuat orang dipaksa untuk berpikir lebih mendalam serta situasi yang menuntut orang untuk membela diri dan menjelaskan lebih rinci, akan mengembangkan pengetahuan seseorang. Konstruktivisme dibedakan dalam tiga taraf: radikal, realisme hipotesis, dan yang biasa. Pembedaan ini didasarkan pada hubungan antara pengetahuan dengan realitas yang ada.
Konstruktivis berpendapat bahwa pengetahuan dibentuk dalam diri individu atas dasar struktur kognitif yang telah dimilikinya, hal ini berimplikasi pada proses belajar yang menekankan aktivitas personal peserta didik. Agar proses belajar dapat berjalan lancar maka pendidik dituntut untuk mengenali secara cermat tingkat perkembangan kognitif peserta didik. Atas dasar pemahamannya pendidik merancang pengalaman belajar yang dapat merangsang struktur kognitif anak untuk berpikir, berinteraksi membentuk pengetahuan yang baru. Pengalaman yang disajikan tidak boleh terlalu jauh dari pengetahuan peserta didik tetapi juga jangan sama seperti yang telah dimilikinya. Pengalaman sedapat mungkin berada di ambang batas antara pengetahuan yang sudah diketahui dan pengetahuan yang belum diketahui sebagai zone of proximal development of knowledge.
Bagi aliran konstruktivisme, pendidik tidak lagi menduduki tempat sebagai pemberi ilmu. Tidak lagi sebagai satu-satunya sumber belajar. Namun pendidik lebih diposisikan sebagai fasiltator yang memfasilitasi peserta didik untuk dapat belajar dan mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Aliran ini lebih menekankan bagaimana peserta didik belajar bukan bagaimana pendidik mengajar.

DAFTAR PUSTAKA

 Fosnot, C. (1996). “Constructivism: A Psychologycal Theory of Learning”. Dalam C. Fosnot (Editor): Constructivism: Theory, Perspectives, and Practice. NewYork: Teachers College.
Hamersma, Dr. Harry. (2008). Pintu Masuk ke Dunia Filsafat. Yogyakarta: Kanisius
Paul Suparno. (2001). Teori Perkembanga Kognitif Jean Piaget. Yogyakarta: Kanisius.
Suparni, P dkk. (2002). Reformasi Pendidikan: Sebuah Rekomendasi. Yogyakarta: Kanisius
Suparno. (1997). Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Filsafat
Rapar, Jan Hendrik. (1996). Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Kanisius
Wibowo, Wahyu. (2006). Berani Menulis Artikel: Babak Baru Kiat Menulis Artikel untuk Media Massa Cetak. Jakarta: Granedia Pustaka Utama
Suparno. (1997). Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka FIlsafat
Yusuf, Syamsu dan Nurihsan, Juntika. (2010). Landasan Bimbingan dan Konseling. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH PENDIDIK DAN PESERTA DIDIK

RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN KONSELING

KONSEP, KARAKTERISTIK DAN JENIS ALAT PENDIDIKAN