BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Filsafat adalah ilmu yang berupaya untuk memahami hakikat alam dan
realitas dengan mengandalkan akal budi. Plato memiliki berbagai gagasan tentang
filsafat. Plato pernah mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang
berusaha meraih kebenaran yang asli dan murni. Selain itu, Plato juga
mengatakan bahwa filsafat adalah penyelidikan tentang sebab-sebab dan asas-asas
yang paling akhir dari segala sesuatu yang ada.
Aristoteles (murid Plato) juga memiliki beberapa gagasan mengenai
filsafat. Aristoteles mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang
senantiasa berupaya mencari prinsip-prinsip dan penyebab-penyebab dari realitas
yang ada. Aristoteles pun mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan
yang berupaya mempelajari “peri ada selaku peri ada” (being as being)
atau “peri ada sebagaimana adanya” (being as such).
Rene Descartes, filsuf Prancis yang termasyhur dengan argumen, “je
pense, donc je suis”, atau dalam bahasa Latin, “cogito ergo sum”
(“aku berpikir maka aku ada”), mengatakan filsafat adalah himpunan dari segala
pengetahuan yang pangkal penyelidikannya adalah mengenai Tuhan, alam dan
manusia.
Bagi William James, filsuf Amerika yang terkenal sebagai contoh
pragmatisme dan pluralisme, filsafat adalah suatu upaya yang luar biasa hebat
untuk berpikir jelas dan terang. R. F. Beerlingm yang pernah menjadi Pendidik
besar filsafat di Universitas Indonesia, dalam bukunya Filsafat Dewasa Ini mengatakan
bahwa filsafat, “memajukan pertanyaan tentang kenyataan seluruhnya atau
tentang hakikat, asas, prinsip dari kenyataan”. Beerlingm juga mengatakan
bahwa filsafat adalah suatu usaha untuk mencapai radix atau akar
kenyataan dunia wujud, juga akar pengetahuan tentang diri sendiri (Rapar, 1996:
15).
Konsep atau gagasan dan definisi yang begitu banyak tidak perlu
membingungkan, bahkan sebaliknya justru menunjukkan betapa luasnya samudera
filsafat itu sehingga tidak terbatasi oleh sejumlah batasan yang akan
mempersempit ruang gerak filsafat. Perbedaan-perbedaan itu sendiri merupakan
suatu keharusan bagi filsafat sebab kesamaan dan kesatuan pemikiran serta
pandangan justru akan mematikan dan menguburkan filsafat untuk selama-lamanya.
Cukup lama diterima bahwa pengetahuan harus merupakan representasi
(gambaran atau ungkapan) kenyataan dunia yang terlepas dari pengamatan
(objektivisme). Pengetahuan dianggap sebagai kumpulan fakta. Namun akhir-akhir
ini terlebih dalam bidang sains, diterima bahwa pengetahuan tidak lepas dari
subjek yang sedang belajar mengerti. Pengetahuan lebih dianggap sebagai suatu
proses pembentukan (kontruksi) yang terus menerus, terus berkembang dan
berubah.
Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan
bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri (Von
Glasersfeld dalam Bettencourt, 1989 dan Matthews, 1994). Von Glaserdfeld
menegaskan bahwa pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari kenyataan (realitas).
Pengetahuan bukanlah gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan selalu
merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif kenyataan melalui kegiatan
seseorang. Seseorang membentuk skema, kategori, konsep dan struktur pengetahuan
yang diperlukan untuk pengetahuan (Bettencourt, 1989). Maka pengetahuan
bukanlah tentang dunia lepas dari pengamat tetapi merupakan ciptaan manusia
yang dikonstruksikan dari pengalaman atau dunia sejauh dialaminya. Piaget
(Suparno, 1997) menyatakan proses pembentukan ini berjalan terus menerus dengan
setiap kali mengadakan reorganisasi karena adanya suatu pemahaman yang baru.
Dalam proses pendidikan, aliran konstruktivisme menghendaki agar peserta
didik dapat menggunakan kemampuannya secara konstruktif untuk
menyesuaikan diri dengan tuntutan perkembangan ilmu dan teknologi. Peserta
didik harus aktif mengembangkan pengetahuan, sehingga peserta didik memiliki
kreativitas untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan, aliran ini mengutamakan
peran peserta didik dalam berinisiatif.
Pendidikan memiliki peran yang sangat penting dalam keseluruhan hidup
manusia. Pendidikan merupakan interaksi antara pendidikan dan peserta didik
untuk mencapai tujuan pendidikan. Dalam interaksi tersebut terlibat isi yang
diinteraksikan serta proses bagaimana interaksi tersebut berlangsung. Apakah yang
menjadi tujuan pendidikan, siapakah pendidik dan terdidik, apa isi pendidikan
dan bagaimana proses interaksi pendidikan tersebut, merupakan
pertanyaan-pertanyaan yang membutuhkan jawaban yang mendasar, yang esensial,
yakni jawaban-jawaban filosofis.
Penerapan dalam proses pendidikan aliran konstruktivisme memberikan
keleluasaan pada peserta didik untuk aktif membangun kebermaknaan sesuai dengan
pemahaman yang telah mereka miliki, memerlukan serangkaian kesadaran akan makna
bahwa pengetahuan tidak bersifat obyektif atau stabil, tetapi bersifat temporer
atau selalu berkembang tergantung pada persepsi subyektif individu dan individu
yang berpengetahuan menginterpretasikan serta mengonstruksi suatu realisasi
berdasarkan pengalaman dan interaksinya dengan lingkungan. Pengetahuan berguna
jika mampu memecahkan persoalan yang ada.
B. Rumusan Masalah
- Apa
itu filsafat dan filsafat konstruktivisme?
- Apa
itu filsafat konstruktivisme?
- Bagaimana
pandangan filsafat konstruktivisme terhadap pendidikan ?
- Bagaimana
filsafat konstruktivisme dalam praksis pendidikan?
C. Tujuan
- Mengetahui
apa itu filsafat.
- Mengetahui
apa itu filsafat konstuktivisme.
- Mengetahui
pandangan filsafat konstruktivisme terhadap pendidikan.
- Mengetahui
aliran filsafat konstruktivisme dalam praksis pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Filsafat
Menurut Plato (427-437 SM), filsafat adalah pengetahuan tentang segala
yang ada. Sementara, menurut Aristoteles, filsafat adalah segala usaha dalam
mencari kebenaran. Sedangkan, Marcus Tullius Cicero (106-43SM), politikus dan
ahli pidato yang amat kondang pada zaman Romawi, mengatakan bahwa filsafat
adalah sesuatu yang mahaagung dan perbagai upaya dalam mencapai hal tersebut.
Pada masa-masa selanjutnya, gaya para filsuf dalam mendefinisikan filsafat tampak
makin bervariasi, sekalipun tetap “membingungkan” kita. Al-Farabi (wafat 950
M), seorang filsuf muslim terbesar sebelum Ibnu Sina, contohnya, menegaskan
filsafat adalah penyelidikan tentang hakikat terdalam alam yang wujud.
Sedangkan, Immanuel Kant (1724-1804), filsuf besar Jerman yang ajarannya
disebut kritisisme, mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu pokok dan pangkal
segala pengetahuan yang di dalamnya tercakup empat persoalan, yakni: (1) apakah
kita dapat diketahui (dijawab oleh metafisika); (2) apakah yang boleh kita
kerjakan (dijawab oleh etika); (3) sampai dimanakah pengharapan kita (dijawab
oleh agama); dan (4) apakah yang dinamakan manusia (dijawab oleh antropologi).
Dalam kaitan ini, gaya para filsuf Tanah Air pun tak boleh kita abaikan. Menurut
N. Drijarkara (1913-1967), misalnya, filsafat adalah pikiran manusia yang
radikal. Artinya, filsafat lebih memandang segala persoalan hidup dan kehidupan
secara kritis dengan membongkar akarnya, sehingga seringkali tampak seolah-olah
di luar kebiasaan umum. Jika filsafat berbicara tentang masyarakat, hukum,
sosiologi, atau kesusilaan, fokusnya tidak diarahkan ke sebab-sebab yang
terdekat, yang praktis, atau yang sesuai dengan pendapat mayoritas masyarakat,
melainkan justru menyelam ke akar persoalan atau ke ini, “mengapa” yang
terakhir (Wibowo, 2006: 98).
Pertanyaan-pertanyaan tentang asal dan tujuan, tentang hidup dan
kematian, tentang hakikat manusia, tidak terjawab oleh ilmu pengetahuan.
Pertanyaan-pertanyaan ini mungkin juga tidak pernah akan terjawab oleh
filsafat. Namun, filsafat adalah tempat dimana pertanyaan-pertanyaan ini
dikumpulkan, diterangkan, dan diteruskan. Filsafat adalah suatu ilmu tanpa
batas. Filsafat tidak menyelidiki salah satu segi dari kenyataan saja,
melainkan apa saja yang menarik perhatian manusia. Di universitas-universitas,
fakultas filsafat sering disebut “fakultas sentral” atau “inter-fakultas”.
Karena semua fakultas lain – yang selalu menyelidiki salah satu dari segi
kenyataan 0 (nol) menjumpai pertanyaan-pertanyaan yang membutuhkan refleksi
yang tidak lagi termasuk bidang khusus mereka, misalnya pertanyaan tentang
batas-batas pengetahuan kita, tentang asal bahasa, tentang hakikat hidup,
tentang hubungan badan dan jiwa, tentang hakikat materi, tentang dasar moral.
Perbedaan antara filsafat dan ilmu pengetahuan menjadi jelas kalau kita
membandingkan definisi ilmu pengetahuan dengan definisi filsafat. Ilmu
pengetahuan adalah pengetahuan metodis sistematis, dan koheren (bertalian)
tentang suatu bidang tertentu dari kenyataan (Hamersma, 2008: 10).
Hamersma (2008: 11) memaparkan filsafat adalah pengetahuan metodis,
sistematis, dan koheren tentang seluruh kenyataan. Filsafat tidak
memperlihatkan banyak kemajuan dalam penyelidikan ini. Hasil dari ilmu-ilmu
khusus besar luar biasa. Dibandingkan dengan itu, hasil dari filsafat
kelihatannya kurang konkret dan kurang berguna. Namun demikian, filsafat masih
tetap dibutuhkan sebagai suatu forum, suatu tempat dimana dibicarakan sial-soal
yang datang sebelum dan sesudah semua ilmu lain.
B. Filsafat Konstruktivisme
Konstruktivisme berasal dari kata konstruktiv dan isme.
Konstruktiv berarti bersifat membina, memperbaiki, dan membangun. Sedangkan
Isme dalam kamus Bahasa Inonesia berarti paham atau aliran. Konstruktivisme
merupakan aliran filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita
merupakan hasil konstruksi kita sendiri.
Para konstruktivis menjelaskan bahwa satu-satunya alat/sarana yang
tersedia bagi seseorang untuk mengetahui sesuatu adalah indranya. Seseorang
berinteraksi dengan objek dan lingkungan dengan melihat, mendengar, menjamah,
mencium, dan merasakannya. Dari sentuhan indrawi itu seseorang membangun
gambaran dunianya. Misalnya, dengan mengamati air, bermain dengan air, mengecap
air, dan menimbang air, seseorang membangun gambaran pengetahuan tentang air.
Para konstruktivis percaya bahwa pengetahuan itu ada dalam diri seseorang yang
sedang mengetahui. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak
seorang (pendidik) ke kepala orang lain (peserta didik). Peserta didik
sendirilah yang harus mengartikan apa yang telah diajarkan dengan menyesuaikan
terhadap pengalaman-pengalaman mereka (Lorsbach & Tobin, dalam Suparno,
1997: 19).
Menurut Von Glaserfekd (Suparno, 1997: 19), pengetahuan itu dibentuk oleh
struktur konsepsi seseorang sewaktu dia berinteraksi dengan lingkungannya.
Lingkungan dapat berarti dua macam. Pertama, bila kita berbicara tentang
diri kita sendiri, lingkungan menunjuk pada keseluruhan objek dan semua
relasinya yang kita abstraksikan dari pengalaman. Kedua, bila kita
memfokuskan diri pada suatu hal tertentu, lingkungan menunjuk pada sekeliling
hal itu yang telah kita sosialisasikan. Dalam hal ini, baik hal itu maupun
sekelilingnya merupakan lingkup pengalaman kita sendiri, bukan dunia objektif
yang lepas dari pengamat.
Von Glasersfeld (Suparno, 1997: 19) menjelaskan struktur konsepsi
tersebut membentuk pengetahuan bila struktur itu dapat digunakan dalam
menghadapi pengalaman-pengalaman mereka ataupun dalam menghadapi
persoalan-persoalan mereka yang berkaitan dengan konsepsi tersebut. Bila konsep
ataupun abstraksi seseorang terhadap sesuatu dapat menjelaskan macam-macam
persoalan yang berkaitan, maka konsep itu membentuk pengetahuan seseorang akan
hal itu. Misalnya konsepsi seseorang akan ciri-ciri seorang wanita dibandingkan
dengan seorang lelaki akan menjadi suatu pengetahuan tentang “ciri-ciri
wanita”, bila konsepsi itu dapat digunakan dalam menganalisis wanita-wanita
lain yang dijumpainya dan dapat membedakan antara wanita dan lelaki yang
dijumpainya.
Von Glasersfeld (Suparno, 1997: 26-27) membedakan adanya tiga taraf
konstruktivisme diantaranya sebagai berikut.
Kostruktivisme radikal
Kaum konstruktivis radikal mengesampingkan antara pengetahuan dan
kenyataan sebagai suatu kriteria kebenaran. Bagi konstruktivis radikal,
pengetahuan tidak merefleksikan suatu kenyataan ontologis objektif, tetapi
merupakan suatu pengaturan dan organisasi dari suatu dunia yang dibentuk oleh
pengalaman seseorang. Konstruktivisme radikal berpegang bahwa kita hanya dapat
mengetahui apa yang dibentuk/dikonstruksi oleh pikiran kita. Bentukan itu harus
berjalan dan tidak harus selalu merupakan representasi dunia nyata. Adalah
suatu ilusi bila percaya bahwa apa yang kita ketahui itu memberikan gambaran
akan dunia nyata.
Pengetahuan selalu merupakan konstruksi dari seseorang yang mengetahui,
maka tidak dapat ditransfer kepada penerima yang pasif. Penerima sendiri yang
harus mengkonstruksi pengetahuan itu. Semua yang lain, entah objek maupun
lingkungan, hanyalah sarana untuk terjadinya konstruksi tersebut.
Dalam pandangan konstruktivisme radikal sebenarnya tidak ada konstruksi
sosial, di mana pengetahuan itu dikonstruksikan bersama, karena masing-masing
orang harus menyimpulkan dan menangkap sendiri makna terakhir. Pandangan orang lain
adalah bahan untuk dikonstruksikan dan diorganisasikan dalam pengetahuan yang
sudah dipunyai orang itu sendiri.
Konstruktivisme tidak dapat melihat dunia pengalaman kita dari luar. Kita
membentuknya dari dalam dan hidup dengannya lama sebelum kita bertanya dari
mana dan apa itu sebenarnya.
Realisme Hipotesis
Menurut Realisme hipotesis, pengetahuan (ilmiah) kita dipandang sebagai
suatu hipotesis dari suatu struktur kenyataan dan berkembang menuju suatu
pengetahuan yang sejati, yang dekat dengan realitas (Munevar, 1981 dalam
Bettencourt, 1989). Menurut Manuvar, pengetahuan kita memunyai relasi dengan
kenyataan tetapi tidak sempurna. Menurutnya pula, Lorenz dan Popper dan banyak
epistimolog evolusioner dapat dikatakan termasuk realisme hipotesis.
Konstruktivisme yang biasa
Aliran ini tidak mengambil semua konsekuensi konstruktivisme. Menurut
aliran ini, pengetahuan kita merupakan gambaran dari relaitas itu. Pengetahuan
kita dipandang sebagai suatu gambaran yang dibentuk dari kenyataan suatu objek
dalam dirinya sendiri.
C. Pandangan Filsafat Konstruktivisme
terhadap Pendidikan
Salah satu tujuan pendidikan nasional adalah untuk membantu generasi muda
menjadi manusia yang utuh, yang pandai dalam bidang pengetahuan, bermoral,
berbudi luhur, peka terhadap orang lain, beriman, dan lain-lain; pendidikan
juga mempunyai peran untuk membantu orang muda masuk ke dalam masyarakat dan
ikut terlibat di dalam masyarakat secara bertanggungjawab. Secara konkret dalam
situasi Indonesia dewasa ini, pendidikan nasional juga mempunyai tujuan untuk
membantu orang muda menjadi warga negara yang baik dan bertanggungjawab.
Artinya, pendidikan nasional dapat ikut terlibat dalam meningkatkan hidup
bernegara dan bermasyarakat. Tentu yang diharapkan bahwa mereka dapat terlibat
sebagai warga yang aktif, yang ikut menegakkan demokratisasi negara ini
(Suparni dkk, 2002: 14).
Maka proses pendidikan juga perlu membentuk peserta didik mengenal
masyarakatnya, peka terhadap situasi masyarakatnya, aktif ikut berpikir dan
bertanggungjawab terhadap masyarakatnya. Dalam proses masyarakat yang
demokratis, mereka harus ikut berpikir kritis, menyumbang kepada masyarakat,
dan diberi peran oleh masyarakat (Suparni dkk, 2002: 15).
Bagian yang penting dalam pendidikan formal di sekolah adalah membantu
peserta didik untuk mengetahui sesuatu, terutama pengetahuan. Secara sederhana,
bagaimana membantu peserta didik untuk menguasai bahan pelajaran yang diberikan
oleh pendidik. Tugas pendidik adalah mentransfer pengetahuan itu ke dalam otak
peserta didik, sehingga peserta didik menjadi tahu. Maka, peserta didik tinggal
membuka otaknya dan menerima pengetahuan itu, atau seringkali diungkapkan bahwa
peserta didik itu seperti tabula rasa, kertas putih kosong. Sedangkan tugas
pendidik adalah memberi tulisan-tulisan pada kertas kosong tersebut.
Menurut filsafat konstruktivisme (dalam Suparni dkk, 2002: 16) yang
berbeda dengan filsafat klasik, pengetahuan itu adalah bentukan (konstruksi)
peserta didik sendiri yang sedang belajar. Pengetahuan peserta didik akan
anjing adalah bentukan peserta didik sendiri yang terjadi karena peserta didik
megolah, mencerna, dan akhirnya merumuskan dalam otaknya pengertian akan
anjing. Pengetahuan itu kebanyakan dibentuk lewat pengalaman indrawi, lewat
melihat, menjamah, membau, mendengar, dan akhirnya merumuskannya dalam pikiran.
Dalam pengertian konstruktivisme, pengetahuan itu merupakan proses menjadi,
yang pelan-pelan menjadi lebih lengkap dan benar. Sebagai contoh, pengetahuan
peserta didik tentang kucing terus berkembang dari pengertian yang sederhana,
tidak lengkap, dan semakin peserta didik dewasa serta mendalami banyak hal
tentang kucing, maka pengetahuannya tentang kucing akan bertambah lengkap.
1. Hakikat Pendidikan Menurut Aliran Filsafat Konstruktivisme
Teori konstruktivisme merupakan suatu proses pembelajaran yang
mengondisikan peserta didik untuk melakukan proses aktif membangun konsep baru,
pengertian baru, dan pengetahuan baru berdasarkan data. Oleh karena itu proses
pembelajaran harus dirancang dan dikelola sedemikian rupa sehingga mampu
mendorong peserta didik untuk mengorganisasi pengalamannya sendiri menjadi
pengetahuan yang bermakna. Teori ini mencerminkan peserta didik memiliki
kebebasan berpikir yang bersifat eklektik, artinya peserta didik dapat
memanfaatkan teknik belajar apapun asal tujuan belajar dapat tercapai.
2. Tujuan Umum Pendidikan Menurut Aliran Filsafat Konstruktivisme
Menurut paham konstruktivisme, pengetahuan diperoleh melalui proses aktif
individu mengkonstruksi arti dari suatu teks, pengalaman fisik, dialog, dan
lain-lain melalui asimilasi pengalaman baru dengan pengertian yang telah
dimiliki seseorang. Tujuan pendidikannya menghasilkan individu yang memiliki
kemampuan berpikir untuk menyelesaikan persoalan hidupnya. Tujuan filsafat
pendidikan memberikan inspirasi bagaimana mengorganisasikan proses pembelajaran
yang ideal. Teori pendidikan bertujuan menghasilkan pemikiran tentang kebijakan
dan prinsip-rinsip pendidikan yang didasari oleh filsafat pendidikan. Praktik
pendidikan atau proses pendidikan menerapkan serangkaian kegiatan berupa
implementasi kurikulum dan interaksi antara pendidik dengan peserta didik guna
mencapai tujuan pendidikan dengan menggunakan rambu-rambu dari teori-teori
pendidikan. Peranan filsafat pendidikan memberikan inspirasi, yakni menyatakan
tujuan pendidikan negara bagi masyarakat, memberikan arah yang jelas dan tepat
dengan mengajukan pertanyaan tentang kebijakan pendidikan dan praktik di
lapangan dengan menggunakan rambu-rambu dari teori pendidik. Seorang pendidik
perlu menguasai konsep-konsep yang akan dikaji serta pedagogi atau ilmu dan
seni mengajar materi subyek terkait, agar tidak terjadi salah konsep atau
miskonsepsi pada diri peserta didik.
3. Hakikat Pendidik Menurut Aliran Filsafat Konstruktivisme
Suparno (1997:16) menyatakan bahwa peran pendidik dalam aliran
konstruktivisme ini adalah sebagai fasilitator dan mediator yang memiliki tugas
memotivasi dan membantu peserta didik untuk mau belajar sendiri dan merumuskan
pengetahuannya. Selain itu pendidik juga berkewajiban untuk mengevaluasi
gagasan-gagasan peserta didik itu, sesuaikah dengan tujuan pendidikan atau
tidak. Fungsi sebagai mediator dan fasilitator ini dapat dijabarkan dalam
beberapa tugas antara lain sebagai berikut.
- Menyediakan
pengalaman belajar yang memungkinkan peserta didik ikut bertanggung jawab
dalam membuat desain, proses, dan penelitian.
- Pendidik
menyediakan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang
keingin-tahuan peserta didik, membantu mereka untuk mengekspresikan
gagasan mereka dan mengkomunikasikan ide ilmiahnya.
- Memonitor,
mengevaluasi dan menunjukkan apakah pemikiran peserta didik itu jalan atau
tidak. Pendidik menunjukkan dan mempertanyakan apakah pengetahuan peserta
didik itu berlaku untuk menghadapi persoalan baru yang berkaitan. Pendidik
membantu dalam mengevaluasi hipotesa dan kesimpulan peserta didik.
- Paham
konstruktivisme menuntut pendidik umtuk menguasai dan mengenai pengetahuan
dari bahan yang mau diajarkan. Pengetahuan yang luas dan mendalam akan
memungkinkan seorang pendidik menerima pandangan dan gagasan peserta didik
yang berbeda dan juga memungkinkan untuk menunjukkan apakah gagasan
peserta didik itu jalan atau tidak.
4. Hakikat Peserta Didik Menurut Aliran Filsafat Konstruktivisme
Para peserta didik menciptakan atau membentuk pengetahuan mereka sendiri
melalui tingkatan atau interaksi dengan dunia. Peserta didik tidak lagi
diposisikan bagaikan bejana kosong yang siap diisi. Peserta didik diberikan
kebebasan untuk mencari arti sendiri dari apa yang mereka pelajari. Ini merupakan
proses menyesuaikan konsep dan ide-ide baru dengan kerangka berpikir yang telah
ada dalam pikiran mereka dan peserta didik bertanggung jawab atas hasil
belajarnya. Peserta didik membawa pengertian yang lama dalam situasi belajar
yang baru. Peserta didik sendiri yang membuat penalaran atas apa yang
dipelajarinya dengan cara mencari makna, membandingkannya dengan apa yang telah
ia ketahui dengan apa yang ia perlukan dalam pengalaman yang baru.
5. Hakikat Pembelajaran Menurut Aliran Filsafat Konstruktivisme
Menurut kaum konstruktivis, belajar merupakan proses aktif pelajar
mengkonstruksikan arti sebuah teks, dialog, pengalaman fisis, dan lain-lain.
Belajar juga merupakan proses mengasimilasikan dan menghubungkan pengalaman
atau bahan yang dipelajari dengan pengertian yang sudah dipunyai seseorang
sehingga pengertiannya dikembangkan. Proses tersebut antara lain bercirikan
sebagai berikut:
- Belajar
berarti membentuk makna. Makna diciptakan oleh peserta didik dari apa yang
mereka lihat, dengar, rasakan dan alami. Konstruksi arti itu dipengaruhi
oleh pengertian yang telah ia punyai.
- Konstruksi
arti adalah proses yang terus menerus. Setiap kali berhadapan dengan
fenomena atau persoalan yang baru, diadakan rekonstruksi, baik secara kuat
maupun lemah.
- Belajar
bukanlah kegiatan mengumpulan fakta, melainkan lebih suatu pengembangan
pemikiran dengan membuat pengertian yang baru. Belajar bukanlah hasil
perkembangan, melainkan merupakan perkembangan itu sendiri (Fosnot, 1996),
suatu perkembangan yang menuntut penemuan dan pengaturan kembali pemikiran
seseorang.
- Proses
belajar yang sebenarnya terjadi pada waktu skema seseorang dalam keraguan
yang merangsang pemikiran lebih lanjut situasi ketidakseimbangan (disequilibrium)
adalah situasi yang baik untuk memacu belajar.
- Hasil
belajar dipengaruhi oleh pengalaman pelajar dengan dunia fisik dan
lingkungan.
- Hasil
belajar seseorang tergantung pada apa yang telah diketahui pelajar
konsep-konsep, tujuan, dan motivasi yang mempengaruhi interaksi dengan
bahan yang dipelajari (Paul Suparno, 2001:61).
D. Filsafat Konstruktivisme dalam Praksis Pendidikan
Kaum konstruktivis personal berpendapat bahwa pengetahuan diperoleh
melalui konstruksi individual dengan melakukan pemaknaan terhadap realitas yang
dihadapi dan bukan lewat akumulasi informasi. Implikasinya dalam proses
pembelajaran adalah bahwa pendidik tidak dapat secara langsung memberikan
informasi, melainkan proses belajar hanya akan terjadi bila peserta didik
berhadapan langsung dengan realitas atau objek tertentu. Pengetahuan diperoleh
oleh peserta didik atas dasar proses transformasi struktur kognitif tersebut.
Dengan demikian tugas pendidik dalam proses pembelajaran adalah menyediakan
objek pengetahuan secara konkret, mengajukan pertanyaan-pertanyaan sesuai dengan
pengalaman peserta didik atau memberikan pengalaman-pengalaman hidup konkret
(nilai-nilai, tingkah laku, sikap) untuk dijadikan objek pemaknaan.
Kaum konstruktivis berpendapat bahwa pengetahuan dibentuk dalam diri
individu atas dasar struktur kognitif yang telah dimilikinya, hal ini
berimplikasi pada proses belajar yang menekankan aktivitas personal peserta
didik. Agar proses belajar dapat berjalan lancar maka pendidik dituntut untuk
mengenali secara cermat tingkat perkembangan kognitif peserta didik. Atas dasar
pemahamannya pendidik merancang pengalaman belajar yang dapat merangsang
struktur kognitif anak untuk berpikir, berinteraksi membentuk pengetahuan yang
baru. Pengalaman yang disajikan tidak boleh terlalu jauh dari pengetahuan
peserta didik tetapi juga jangan sama seperti yang telah dimilikinya.
Pengalaman sedapat mungkin berada di ambang batas antara pengetahuan yang sudah
diketahui dan pengetahuan yang belum diketahui sebagai zone of proximal
development of knowledge.
Bagi kaum konstruktivis, belajar adalah proses mengkonstruksi
pengetahuan. Proses konstruksi itu dilakukan secara pribadi dan sosial. Proses
ini adalah proses aktif, sedangkan mengajar bukanlah memindahkan pengetahuan
dari pendidik ke peserta didik, melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan
peserta didik membangun sendiri pengetahuannya. Mengajar berarti partisipasi
dengan peserta didik dalam membentuk pengetahuan, membuat makna, mencari
kejelasan, dan bersikap kritis. Jadi mengajar adalah suatu bentuk belajar
sendiri.
Dalam aliran kostruktivisme, pendidik bukanlah seseorang yang maha tahu
dan peserta didik bukanlah yang belum tahu, karena itu harus diberi tahu. Dalam
proses belajar, peserta didik aktif mencari tahu dengan membentuk
pengetahuannya, sedangkan pendidik membantu agar pencarian itu berjalan baik.
Dalam banyak hal Pendidik dan peserta didik bersama-sama membangun pengetahuan.
Dalam hal ini hubungan pendidik dan peserta didik lebih sebagai mitra yang
bersamasama membangun pengetahuan.
BAB III
PENUTUP
Konstruktivisme beranggapan bahwa pengetahuan adalah hasil konstruksi
manusia. Manusia mengkonstruksi pengetahuan mereka melalui interaksi mereka
dengan objek, fenomen, pengalaman dan lingkungan mereka. Suatu pengetahuan
dianggap benar apabila pengetahuan itu dapat berguna untuk menghadapi dan
memecahkan persoalan atau fenomen yang tidak sesuai. Bagi konstruktivisme,
pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja dari seseorang kepada yang lain,
tetapi harus diinterpretasikan sendiri oleh maing-masing orang. Tiap orang
harus mengkonstruksi pengetahuan sendiri. Pengetahuan bukan sesuatu yang sudah
jadi, melainkan suatu proses yang berkembang terus menerus.
Beberapa faktor seperti keterbatasan pengalaman konstruksi yang
terdahulu, dan struktur kognitif seseorang dapat membatasi pembentukan
pengetahuan orang tersebut. Sebaliknya, situasi konflik atau anomali yang
membuat orang dipaksa untuk berpikir lebih mendalam serta situasi yang menuntut
orang untuk membela diri dan menjelaskan lebih rinci, akan mengembangkan
pengetahuan seseorang. Konstruktivisme dibedakan dalam tiga taraf: radikal,
realisme hipotesis, dan yang biasa. Pembedaan ini didasarkan pada hubungan
antara pengetahuan dengan realitas yang ada.
Konstruktivis berpendapat bahwa pengetahuan dibentuk dalam diri individu
atas dasar struktur kognitif yang telah dimilikinya, hal ini berimplikasi pada
proses belajar yang menekankan aktivitas personal peserta didik. Agar proses
belajar dapat berjalan lancar maka pendidik dituntut untuk mengenali secara
cermat tingkat perkembangan kognitif peserta didik. Atas dasar pemahamannya
pendidik merancang pengalaman belajar yang dapat merangsang struktur kognitif
anak untuk berpikir, berinteraksi membentuk pengetahuan yang baru. Pengalaman
yang disajikan tidak boleh terlalu jauh dari pengetahuan peserta didik tetapi
juga jangan sama seperti yang telah dimilikinya. Pengalaman sedapat mungkin
berada di ambang batas antara pengetahuan yang sudah diketahui dan pengetahuan
yang belum diketahui sebagai zone of proximal development of knowledge.
Bagi aliran konstruktivisme, pendidik tidak lagi menduduki tempat sebagai
pemberi ilmu. Tidak lagi sebagai satu-satunya sumber belajar. Namun pendidik
lebih diposisikan sebagai fasiltator yang memfasilitasi peserta didik untuk
dapat belajar dan mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Aliran ini lebih
menekankan bagaimana peserta didik belajar bukan bagaimana pendidik mengajar.
DAFTAR PUSTAKA
Fosnot, C. (1996). “Constructivism: A Psychologycal Theory of
Learning”. Dalam C. Fosnot (Editor): Constructivism: Theory, Perspectives, and
Practice. NewYork: Teachers College.
Hamersma, Dr. Harry. (2008). Pintu Masuk ke Dunia Filsafat.
Yogyakarta: Kanisius
Paul Suparno. (2001). Teori Perkembanga Kognitif Jean Piaget.
Yogyakarta: Kanisius.
Suparni, P dkk. (2002). Reformasi Pendidikan: Sebuah Rekomendasi.
Yogyakarta: Kanisius
Suparno. (1997). Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan.
Yogyakarta: Pustaka Filsafat
Rapar, Jan Hendrik. (1996). Pengantar Filsafat. Yogyakarta:
Kanisius
Wibowo, Wahyu. (2006). Berani Menulis Artikel: Babak Baru Kiat Menulis
Artikel untuk Media Massa Cetak. Jakarta: Granedia Pustaka Utama
Suparno. (1997). Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan.
Yogyakarta: Pustaka FIlsafat
Yusuf, Syamsu dan Nurihsan, Juntika. (2010). Landasan Bimbingan dan Konseling.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Komentar
Posting Komentar