MAKALAH
FILSAFAT PENDIDIKAN EKSISTENSIALISME
Diajukan
untuk memenuhi salah satu tugas pada matakuliah Filsafat Pendidikan pada Semester
Genap Tahun Akademik 2017/2018
dengan
dosen pembimbing Dety Amelia Karlina, S.S., M.Pd.
Oleh:
Kelompok : 5
Kelas : 1A
Ketua : Yusuf Abdul Rohman 1702514
/ 43
Anggota : 1. Aditya Rizkiansyah 1702471 / 40
2. Intan Mira Restiana 1702508 / 42
3. Riah 1701639
/ 31
4. Sriana JSR Simanjuntak 1701676 / 32
PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
KAMPUS SUMEDANG
UNIVERSITAS PENDIDIKAN
INDONESIA
2018
KATA
PENGANTAR
Puji syukur
kepada Allah Swt karena atas limpahan rahmat dan ridho-Nya kami dapat
menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Filsafat Pendidikan ini yang berjudul
“Filsafat Pendidikan Eksistensialisme”. Tidak lupa shalawat dan salam semoga
selalu tercurah limpah kepada Nabi Muhammad Saw.
Makalah ini telah
kami susun secara maksimal atas bantuan dan dukungan dari berbagai pihak,
sehingga makalah ini dapat selesai dengan lancar dan tepat pada waktunya, untuk
itu kami selaku penyusun berterima kasih kepada Ibu Dety Amelia Karlina S.S.
M.Pd. selaku dosen mata kuliah Filsafat
Pendidikan.
Kami menyadari
bahwa makalah yang kami buat jauh dari kata sempurna dan masih memiliki banyak
kekurangan, oleh sebab itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun
dari pembaca, guna menghasilkan makalah yang lebih baik.
Semoga makalah
yang kami susun dapat memberikan manfaat dan menambah wawasan bagi pembaca.
Sumedang, Februari
2018
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..........................................................................................................
DAFTAR ISI .......................................................................................................................
BAB 1 PENDAHULUAN ....................................................................................................
1.1 Latar Belakang Masalah ...................................................................................
1.2 Rumusan Masalah ...........................................................................................
1.3 Tujuan Pembahasan ........................................................................................
BAB 2 PEMBAHASAN ......................................................................................................
2.1 Pengertian Aliran
Filsafat Eksistensialisme .....................................................
2.2 Tokoh-Tokoh Filsafat
aliran Eksistensialisme ..................................................
2.3 Tema Eksitensialisme yang
Mendasari Perilaku Manusia ..............................
2.4 Filsafat Pendidikan
Eksistensialisme ...............................................................
2.5
Implikasi di Sekolah tentang Aliran Filsafat Pendidikan Eksistensialisme.......
2.6
Pandangan Filsafat Eksistensialisme...............................................................
2.7
Implikasi Filsafat Eksistensialisme dalam Pendidikan......................................
BAB 3 PENUTUP .............................................................................................................
3.1 Simpulan ..........................................................................................................
3.2 Saran ................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Aliran
filsafat eksistensialisme merupakan salah satu aliran yang telah mengguncangkan
dunia setelah selesai perang dunia ke dua. Eksistensialisme kemunculannya
didorong oleh situasi dunia, khususnya yang berasal dari eropa barat dimana
disanalah tempat lahirnya eksistensialisme. Pada saat itu keadaan dunia tidak
menentu, rasa takut berkecamuk terutama rasa takut terhadap ancaman perang,
penampilan manusia penuh rahasia, imitasi, kebencian merajalela, dan agama di
eropa barat dianggap tidak mampu lagi memberikan makna pada kehidupan. Dalam
keadaan itulah eksistensialisme muncul yang menjadikan manusia sebagai subjek
dan sekaligus objek sentral dalam perenungan.
Sifat
materialisme ternyata merupakan pendorong lahirnya eksistensialisme karena yang
dimaksud eksistensi ialah cara orang berada di dunia. Kata berada pada manusia
tidak sama dengan berada nya pohon atau batu, namun pada pandangan materialisme
mengatakan manusia hanyalah sesuatu yang material yang memang betul betul hanya
sebagai materi (objek). Selain itu eksistensialisme juga lahir sebagai reaksi
terhadap idealisme karena idealisme menjadikan seluruh manusia sebagi subjek
bahkan di lebih lebihkan lagi sampai menjadi tidak ada barang lain selain
pikiran. Nah
disitulah materialisme dan idealisme dihantam oleh eksistensialisme.
Eksistensialisme
sendiri menyatakan bahwa cara berada manusia dan benda yang lain tidaklah sama.
Manusia berada di dunia, sapi dan pohon juga. Tetapi cara berada nya tidak
sama, manusia menyadari dan mengalami beradanya di dunia, manusia menghadapi
dunia dengan mengerti yang dihadapinya dan yang terpenting manusia mengerti
bahwa hidupnya mempunyai arti.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Aliran Filsafat
Eksistensialisme?
2. Siapa
saja tokoh-tokoh Aliran Filsafat Eksistensialisme?
3. Apa
yang dimaksud dengan Filsafat Pendidikan Eksistensialisme?
4. Apa
yang menjadi Tema Eksistensialisme yang mendasari Perilaku Manusia?
5. Bagaimana
Filsafat Eksistensialisme dalam Pendidikan?
6. Bagaimana
Pandangan Filsafat Ekstensialisme tentang Realitas, Pengetahuan,
Nilai
dan Pendidikan?
7. Bagaimana
Implikasi di Sekolah tentang
Filsafat Pendidikan Eksistensialisme?
1.3 Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui dan memahami apa yang dengan Aliran
Filsafat
Eksistensialisme.
2. Untuk mengetahui tokoh-tokoh Aliran Filsafat
Eksistensialisme.
3. Untuk
mengetahui dan memahami Apa yang dimaksud dengan Filsafat Pendidikan Eksistensialisme.
4.
Untuk mengetahui Tema Eksistensialisme
yang mendasari Perilaku Manusia.
5. Untuk mengetahui Filsafat Eksistensialisme dalam
Pendidikan.
6. Untuk mengetahui Pandangan Filsafat Ekstensialisme tentang
Realitas,
Pengetahuan, Nilai dan Pendidikan.
7. Untuk mengetahui Implikasi di Sekolah tentang Filsafat
Pendidikan
Eksistensialisme.
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Filsafat
Kata filsafat berasal dari
kata ‘philosophia’ (bahasa Yunani), yang artinya ‘mencintai kebijaksanaan’.
Dalam nahasa Inggris kata filsafat disebut dengan istilah ‘philosophy’, dan
dalam bahasa Arab disebut dengan istilah ‘falsafah’, yang artinya ‘cinta
kearifan’. Istilah philosophia berasal dari kata philien yang
berarti mencintai dan sophos yang artinya bijaksana. Dapat disimpulkan bahwa filsafat
berarti cinta kebijaksanaan. Sedangkan orang yang berusaha mencari
kebijaksanaan atau pencinta pengetahuan disebut dengan filsuf atau filosof.
2.2 Pengertian
Aliran Filsafat Eksistensialisme
Eksistensialisme
berasal dari kata dasar eksistensi "existency"
adalah exist yang berasal dari bahasa
latin ex yang berarti keluar dan
sistere yang berarti berdiri. Jadi eksistensi adalah berdiri dengan keluar dari
diri sendiri. Dalam bahasa Jerman disebut dasein.
Da arti nya disana, sein berarti
berada. Berada disana mengandung makna ditempat yang artinya manusia sadar akan
tempatnya dan dirinya sendiri. Filsafat
eksistensi tidak sama persis dengan filsafat eksistensialisme (Hassan, 1974:7).
Dimana filsafat eksistensi adalah filsafat yang menempatkan cara wujud manusia
sebagai tema sentral. Eksistensialisme
merupakan aliran filsafat yang memandang berbagai gejala dengan berdasar pada
eksistensinya. Artinya bagaimana manusia berada (bereksistensi) dalam dunia.
2.3
Tokoh-Tokoh Filsafat aliran Eksistensialisme
2.3.1 Soren Kierkegaard (1813-1855)
Soren
Kierkegaard merupakan seorang filsuf asal Denmark dia merupakan pencetus aliran
filsafat eksistensialisme dia sering disebut sebagai bapak filsafat
eksistensialisme. Menurut kiergaard filsafat
tidak merupakan suatu sistem, tetapi suatu pengekspresian eksistensi individual. Pertama-tama Kierkegaard memberikan
kritik terhadap Hegel, karena Hegel meremehkan
eksistensi yang kongkret dan lebih mengutamakan idea yang sifatnya umum.
Menurut Kierkegaard manusia
tidak pernah hidup sebagai “aku umum” tapi sebagai “aku individual” yang unik
dan tidak dapat dijabarkan oleh sesuatu yang lain. Kierkegaard memperkenalkan
“eksistensi” yang artinya hanya manusia yang bereksistensi, dan eksistensi saya
tidak saya jalankan satu kali untuk selamanya, tapi saat saya menjadi objek
pemilihan baru. Bereksistensi
ialah
bertinda. Tidak ada orang lain yang bisa menggantikan tempat saya untuk
bereksistensi atas nama saya sendiri.
2.3.2 Jean paul Sartre (1905-1980)
Jean
paul Sartre merupakan filsuf berkebangsaan Prancis yang lahir pada tahun 1905-an, dia merupakan seorang tokoh penting yang menyebarkan
filsafat eksistensialisme sekalipun pada dasarnya buah pikirannya merupakan
pengembangan dari Kierkegaard namun dia
mengembangkannya dengan amat jauh. Menurut eksistensialisme, eksistensi
manusia mendahului essensinya dan berarti manusia harus bertanggung jawab untuk
apa ia ada., formula inilah yang merupakan prinsip pertama dan yang utama dalam
filsafat eksistensialisme. Misalnya jika sesorang mau membuat suatu barang,
misalnya buku, ia semestinya telah mempunyai konsepnya, selanjutnya dibuatlah
sebuah buku sesuai dengan konsep yang ada. Konsep buku merupakan masa
praeksistensi dari sudut terwujudnya buku, dapat dibayangkan jika seseorang
membuat buku tanpa konsep. Dapat disimpulkan bahwa konsep buku merupakan esensi
buku, sedangkan buku adalah wujud eksistensinya.
2.3.3 Karl Theodor Jaspers (1883-1969)
Karl Theodor Jaspers
adalah seorang filsuf eksistensialisme dari Jerman. Ia lahir pada tahun
1883 Eksistensialismenya
ditandai dengan pemikiran yang menggunakan semua pengetahuan obyektif serta
mengatasi pengetahuan obyektif sehingga manusia sadar akan dirinya sendiri dan
memandang filsafat bertujuan mengembalikan manusia kepada jatidirinya kembali.
Ada dua fokus pemikiran Jasper, yaitu eksistensi dan transendensi. Pada
eksistensialisme Jaspers berkiblat pada Kierkegaard, namun banyak juga dipengaruhi oleh para
filsuf lain. Jika
dibandingkan dengan para filsuf eksistensialisme lain, Jaspers adalah filsuf
yang pemikirannya memperlihatkan suatu sistem yang tersusun sistematis
dan rapi. Karya
Jaspers yang paling penting untuk mengetahui pemikirannya adalah
"Filosofi" yang ditulis pada tahun 1932. Pemikiran Jaspers yang
paling dikenal adalah tentang "chiffer-chiffer" dan "situasi
batas". Ada empat "situasi batas" yang menantang manusia untuk
mewujudkan dirinya dengan lebih penuh: Kematian, Penderitaan, Perjuangan,dan Kesalahan. "Situasi batas" ini
bersifat mendua, sebab eksistensi seseorang dapat berkembang maju atau malah
mundur ketika berhadapan dengan "situasi batas" tersebut. Hal itu tergantung dari
pilihan yang diambil oleh orang tersebut.
2.3.4 Martin Heidegger (1889-1976)
Martin Heidegger adalah seorang filsuf asal Jerman. Dia merupakan
penggas fenomenologi tetapi memunyai pengaruh yang besar dalam filsafat
eksistensialisme Menurut
Hidegger manusia itu terbuka bagi dunianya dan sesamanya. Kemampuan seseorang
untuk bereksistensi dengan hal-hal diluar dirinya karena memiliki kemampuan
seperti kepekaan, pengertian, pemahaman, perkataan, atau pembicaraan. Yang
dimaksud dengan mengerti dan memahami ialah bahwa manusia dengan kesadarannya
akan berdaya diantara benda-benda lainnya harus berbuat sesuatu untuk
menggunakan kemungkinan-kemungkinan yang ada pada dirinya dan memberi arti
manfaat pada dunia dalam kemungkinan- kemungkinannya. Bagi Heidegger, untuk
mencapai manusia yang utuh maka manusia itu harus merealisasikan segala
potensinya – meski dalam kenyataannya seseorang itu tidak mampu merealisasikan
semua itu, ia tetap berusaha sekuat tenaga dan mempertanggungjawabkan atas
potensi yang belum teraktualisasikan.
2.4 Tema Eksistensialisme yang Mendasari Perilaku Manusia
Menurut
Martin Heidegger ada 8 tema eksistensi yaitu,
1.
Eksistensi sebagai milik pribadi dan berada dalam waktu
2.
Ada dalam dunia.
3.
Orang atau manusia impersonal.
4.
Suasana hati dan fatisitas.
5.
Kecemasan dan ketiadaan.
6.
Kematian dan hati nurani.
7.
Keprihatinan dan temporalitas.
8.
Historisitas.
Ada
5 tema yang dsimpulkan yaitu 1 kebebasan (pilihan bebas).Dimana manusia
memiliki hak untuk merdeka (kebebasan) untuk melakukan sesuatu yang diinginkannya.
2.4.1 Kecemasan.
Dalam
hali ini pandangan eksistensialisme melihat dari kejiwaan manusianya yang
memiliki pikiran dan perasaan kahwatid tentang suatu ha sehingga mengakibatkan
manusia itu cwnderung lebih berpikir negatif dan kahwatir tentang akan hal apa
yang terjadi dalam hidupnya.
2.4.2 Kematian.
Dalam
hal ini Jean Paul Sartre dan Albert Camus mengatakan bahwa kematian merupakan
kejadian berakhirnya eksistensi manusia dan merupakan puncak absurditasvmanusia
dalam meraih keotentikan hidup. Dalam hal ini ada ahli filsafat yang mengatakan
juga bahwa kematian merupakan landasan bagimanusia untuk menciptakan kehidupan
bermakna dan sekaligus wahana untuk merealisasikan penyempurnaan eksistensinya.
Dalam pandangan ini menjelaskan bahwa krmatian adalah finsh nya eksistensi
manusia dan dimana pada puncak inilah penyempurnaan manusia tersebut.
2.4.3 Kehidupan yang
otentik (menjadi diri yang otentik).
Menjadi
pribadinya masing-masing dan memiliki tanggung jawab besar atas pribadinya. Dan
juga pribadi yang tanpa mengikat orang lain dan tidak menggantukan diri pada
orang lain.
2.4.4 Ketiadaan.
Eksistensi
berpandangan bahwa ketiadaan ini sebagai kemungkinan manusiawi yang selalu ada
dan bisa saja dialami dan tidak pernah terhapuskan sama sekali. Bisanya ini
bersumber dari kekosongan jiwa menurut para eksistensialisme. Di dalam
ketiadaan ini manusia merasa tiada bukan saja terhadap sesama dan pekerjaannya,
tetapi juga terhada dirinya sendiri.
2.5 Filsafat Eksistensialisme dalam Pendidikan
Filsafat
eksistensialisme memiliki 3 bentuk dalam pendidikan yaitu:
1. Pengetahuan, dimana eksistensialisme
berpandangan bahwa penampakan benda-benda dan peristiwa yang terjadi itu semua
menampakkan dirinya terhadap kesadaran manusi. Dengan pengentahuan ini
eksistensialisme mengacu pada kemampuan manusia untuk menemukan kebenaran demi
kebenaran.
2. Nilai, dimna manusia memiliki kebebasan
dalam melakukan apapun. Kebebasan yang dimaksud pada bagian ini berarti bukan
bebas dalam memilih semaunya saja akan tetapi kebebasan untuk memilih namun
menentukan pilihan diantara pilihan-pilihan terbaik adalah hal yang paling
sulit dimana untuk mencapai tujuan tersebut seseorang harus menerima
akibat-akibat yang akan terjadi dalammenjalankan tujuan tersebut.
3. Pendidikan, hal ini sangat memfokuskan
pada peningkatan seseorang secara pribadi dalam pendidikan ini eksistensialisme
mengajarkan setiap manusia memiliki Masalah yang sama dimana
manusi,hidup,hubungan antar manusia, hakikat kepribadian, dan kebebasan, bahkan
dalam menentukan nasibnya masing-masing. Dalam hal ini eksistensialisme adalah
"keberadaan" manusia, sedangkan pendidikan hanya dilakukan manusia.
2.6 Pandangan
Filsafat Eksistensialisme tentang Realitas, Pengetahuan, Nilai dan
Pendidikan
2.6.1. Realitas
Menurut aliran eksistensialisme ini, realitas adalah
kenyataan atau
fakta yang terjadi pada
hidup itu sendiri. Untuk melihat realitas yang ada, manusia
harus melihat apa yang
ada dalam dirinya, bukan
yang ada di luar kondisi dirinya.
2.6.2. Pengetahuan
Teori pengetahuan eksistensialisme banyak dipengaruhi
oleh filsafat fenomenologi, suatu filsafat yang menekankan pada pandangan tentang penampakan
benda-benda dan peristiwa-peristiwa sebagaimana benda-benda tersebut menampakan
dirinya terhadap kesadaran manusia. Pengetahuan manusia tergantung kepada
pemahamannya tentang realitas
yang terjadi pada dirinya, dan
pada interpretasi manusia terhadap realitas, pengetahuan yang diberikan di
sekolah bukan sebagai alat untuk mendapatkan pekerjaan, melainkan untuk dijadikan sebagai alat mengukur perkembangan
dan alat pemenuhan diri. Pelajaran di sekolah sebagai alat untuk
merealisasikan diri, bukan merupakan suatu tuntutan dimana anak harus
patuh dan tunduk terhadap isi pelajaran tersebut. Biarkanlah mereka mempunyai pribadi yang berkembang untuk
menemukan kebenaran-kebenaran dalam kebenaran dalam dirinya.
2.6.3. Nilai
Pemahaman akan eksistensialisme terhadap nilai yang menekankan pada kebebasan dalam
tindakan. Kebebasan bukan suatu
tujuan atau suatu cita-cita dalam dirinya sendiri, melainkan merupakan
suatu potensi untuk melakukan
suatu tindakan. Manusia memiliki kebebasan untuk memilih, namun menentukan
pilihan-pilihan di antara pilihan-pilihan tersebut yang terbaik
adalah sukar
untuk dilakukan. Berbuat akan menghasilkan suatu akibat, dimana
seseorang harus menerima akibat-akibat tersebut sebagai pilihannya. Kebebasan tidak akan pernah selesai,
karena setiap akibat akan melahirkan kebutuhan untuk pilihan berikutnya.
Tindakan moral mungkin dilakukan untuk moral itu sendiri tidak untuk hal yang lain, dan
mungkin juga untuk suatu tujuan. Seseorang harus memiliki kemampuan untuk
menciptakan suatu
tujuannya sendiri. Apabila seseorang mengambil tujuan kelompok atau
masyarakat, maka ia harus menjadikan tujuan-tujuan tersebut sebagai miliknya dan sebagai tujuan
sendiri, dimana ia harus mencapai dalam setiap
situasi. Jadi, tujuan diperoleh akibat adanya situasi.
2.6.4. Pendidikan
Eksistensialisme sebagai filsafat, sangat menekankan
individualitas dan pemenuhan diri secara pribadi. Setiap individu dipandang
sebagai makhluk yang
unik, dan secara unik pula ia bertanggungjawab terhadap nasibnya. Dalam
hubungannya dengan pendidikan, situasi pribadi mengemukakan
bahwa eksistensialisme berhubungan sangat erat sekali dengan pendidikan, karena
keduanya saling bersinggungan
pada masalah-masalah yang sama, yaitu manusia, hidup, hubungan antar
manusia, hakikat kepribadian, dan kebebasan (kemerdekaan). Pusat pembicaraan
eksistensialisme adalah keberadaan manusia, sedangkan pendidikan hanya
dilakukan oleh manusia.
2.7 Implikasi
Filsafat Eksistensialisme dalam Pendidikan
Menurut
A. Chaedar alwashilah, di dalam kelas, guru berperan sebagai fasilitator untuk
membiarkan siswa berkembang menjadi dirinya dengan memberikan berbagai bentuk
jalan untuk dilalui. Karena perasaan tidak terlepas dari nalar, maka kaum
eksistensilis menganjurkan pendidikan sebagai cara membentuk manusia secara
utuh, bukan hanya sebagai pembengunan nalar. Sejalan dengan tujuan itu kuriklum
menjadi fleksibel dengan menyajikan sejumlah pilihan untuk dipilih siswa. Dapat
ditebak bahwa pelajaran-pelajaran humaniora akan mendapat penekanan relatif
besar. Kelas mesti kaya dengan materi ajar yang memungkinkan siswa melakukan
ekspresi diri, atara lain dalam bentuk karya sastra film, dan drama. Semua itu
merupakan alat untuk memungkinkan siswa “berfilsafat” tentang makna dari
pengalaman hidup, cinta, dan kematian. Pendidikan vokasional lebih sebagai cara
mengajar siswa mengenal dirinya bukan untuk mendapatkan penghidupan. Dalam
bidang seni, aliran ini mendorong kreatifitas dan imaginasi siswa bukan sekedar
meniru dan membeo apa yang sudah ada. Siswa dilihat sebagai individu, dan
belajar seyogianya disesuaikan dengan kecepatan siswa dan siswa mengarahkan
belajar untuk kepentingan dirinya sendiri.
Uyoh Sadulloh dalam
bukunya Filsafat Pendidikan, menjelaskan tentang implikasi filsafat
eksistensialisme dalam pendidikan sebagai berikut:
1. Tujuan Pendidikan
Tujuan
pendidikan adalah untuk mendorong setiap individu agar mampu mengembangkan
semua potensinya untuk pemenuhan diri. Setiap individu memiliki kebutuhan dan
perhatian yang spesifik berkaitan dnegan pemenuhan dirinya, sehingga dalam
menentukan kurikulum tidak ada kurikulum yang pasti dan ditentukan berlaku
secar umum.
2. Kurikulum
Kaum
eksistensialis menilai kurikulum berdasarkan pada apakah hali itu berkontribusi
pada pencarian individu akan makna dan muncul dalam suatu tingkatan kepekaan
personal disebut Greene “kebangkitan yang luas”. Kurikulum ideal adalah
kurikulum yang memberikan para siswa
kebebasan individual yang luas dan mensyaratkan mereka untuk mengajukan
pertanyaan-pertanyaan, melaksanakan pencarian-pencarian mereka sendiri, dan
menarik kesimpulan-kesimpulan mereka sendiri.
Menurut
pandangan eksistensialisme, tidak ada satu mata pelajaran tertentu yang lebih
penting daripada yang lainnya. Mata pelajaran merupakan materi dimana individu
akan dapat menemukan dirinya dan kesadaran akan dunianya.
Kurikulum
eksistensialisme memberikan perhatian yang besar terhadap humaniora dan seni.
Karena kedua materi tersebut diperlukan agar individu dapat mengadakan
instrospeksi dan mengenalkan gambaran dirinya. Pelajar harus didorong untuk
melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat mengembangkan keterampilan yang
dibutuhkan, serta memperoleh pengetahuan yang diharapkan. Eksistensialisme
menolak apa yang disebut penonton teori. Oleh karena itu, sekolah harus mencoba
membawa siswa ke dalam hidup yang sebenarnya.
3. Proses belajar-mengajar
Menurut
Kneller (1971), konsep belajar mengajar eksistensialisme dapat diaplikasikan
dari pandangan Martin Buber tentang “dialog”. Dialog merupakan percakapan
antara pribadi dengan pribadi, dimana setiap pribadi merupakan subjek bagi yang
lainnya. Menurut Buber kebanyakan proses pendidikan merupakan paksaan. Anak
dipaksa menyerah kepada kehendak guru, atau pada pengetahuan yang tidak
fpeksibel, dimna guru menjadi penguasanya.
Selanjutnya
buber mengemukakan bahwa, guru hendaknya tidak boleh disamakan dengan seorang
instruktur. Jika guru disamakan dengan instruktur maka ia hanya akan merupakan
perantara yang sederhana antara materi pelajaran dan siswa. Seandainya ia hanya
dianggap sebagai alat untuk mentransfer pengetahuan, dan siswa akan menjadi
hasil dari transfer tersebut. Pengetahuan akan menguasai manusia, sehingga
manusia akan menjadi alat dan produk dri pengetahuan tersebut.
Dalam
proses belajar mengajar, pengetahuan tidak dilimpahkan melainkan ditawarkan.
Untuk menjadikan hubungan antara guru dengan siswa sebagai suatu dialog, maka
pengetahuan yang akan diberikan kepada siswa harus menjadi bagian dari
pengalaman pribadi guru itu sendiri, sehingga guru akan berjumpa dengan siswa
sebagai pertemuan antara pribadi dengan pribadi. Pengetahuan yang ditawarkan
guru tidak merupakan suatu yang diberikan kepada siswa yang tidak dikuasainya,
melainkan merupakan suatu aspek yang telah menjadi miliknya sendiri.
4. Peranan guru
Menurut
pemikiran eksistensialisme, kehidupan tidak bermakna apa-apa, dan alam semesta
berlainan dengan situasi yang manusia temukan sendiri di dalamnya. Kendatipun
demikian dengan kebebasan yang kita miliki, masing-masing dari kita harus
commit sendiri pada penentuan makna bagi kehidupan kita. Sebagaimana yang
dinyatakan oleh Maxine Greene (Parkay, 1998), seorang filosof pendidikan
terkenal yang karyanya didasarkan pada eksistensialisme “kita harus mengetahui
kehidupan kita, menjelaskan situasi-situasi kita jika kita memahami dunia dari
sudut pendirian bersama”. Urusan manusia yang paling berharga yang mungkin
paling bermanfaat dalam mengangkat pencarian pribadi akan makna merupakan
proses edukatif. Sekalipun begitu, para guru harus memberikan kebebasan kepada
siswa memilih dan memberi mereka pengalaman-pengalaman yang akan membantu
mereka menemukan makna dari kehidupan mereka. Pendekatan ini berlawanan dengan
keyakinan banyak orang, tidak berarti bahwa para siswa boleh melakukan apa saja
yang mereka suka.
Guru
hendaknya memberi semangat kepada siswa untuk memikirkan dirinya dalam suatu
dialog. Guru menyatakan tentang ide-ide yang dimiliki siswa, dan mengajukan
ide-ide lain, kemudian membimbing siswa untuk memilih alternative-alternatif,
sehingga siswa akan melihat bahwa kebenaran tidak terjadi pada manusia
melainkan dipilih oleh manusia. Lebih dari itu, siswa harus menjadi factor
dalam suatu drama belajar, bukan penonton. Siswa harus belajar keras seperti
gurunya.
Guru
harus mampu membimbing dan mengarahkan siswa dengan seksama sehingga siswa
mampu berpikir relative dengan melalui pertanyaan-pertanyaan. Dalam arti, guru
tidak mengarahkan dan tidak member instruksi. Guru hadir dalam kelas dengan
wawasan yang luas agar betul-betul menghasilkan diskusi tentang mata pelajaran.
Diskusi merupakan metode utama dalam pandangan eksistemsialisme. Siswa memiliki
hak untuk menolak interpretasi guru tentang pelajaran. Sekolah merupakan suatu
forum dimana para siswa mampu berdialog dengan teman-temannya, dan guru
membantu menjelaskan kemajuan siswa dalam pemenuhan dirinya.
Sedangkan
menurut Power (1982), yang dikutip oleh Uyoh Sadulloh, beberapa implikasi
filsafat pendidikan eksistensialisme adalah sebagai berikut:
1. Tujuan pendidikan
Memberi
bekal pengalaman yang luas dan komprehensif dalam semua bentuk kehidupan.
2. Status siswa
Makhluk
rasional dengan pilihan bebas dan tanggungjawab atas pilihannya. Suatu komitmen
terhadap pemenuhan tujuan pribadi.
3. Kurikulum
Yang
diuatamakan adalah kurikulum liberal. Kurikulum liberal merupakan landasan bagi
kebebasan manusia. Kebebasan memiliki aturan-aturan. Oleh karena itu, di
sekolah diajarkan pendidikan sosial, untuk mengajar “respek” (rasa hormat)
terhadap kebebasan untuk semua. Respek terhadap kebebasan bagi yang lain adalah
esensial. Kebebasan dapat menimbulkan konflik.
4. Peranan guru
Melindungi
dan memelihara kebebasan akademik, di mana mungkin guru pada hari ini, besok
lusa mungkin menjadi murid.
5. Metode
Tidak
ada pemikiran yang mendalam tentang metode, tetapi metode apapun yang dipakai
harus merujuk pada tata cara untuk mencapai kebehagiaan dan karakter yang baik.
BAB 3
PENUTUP
3.1 Simpulan
Eksistensialisme
merupakan aliran filsafat yang memandang berbagai gejala dengan berdasar pada
eksistensinya. Bereksistensi harus diartikan
bersifat dinamis. Bereksistensi berarti
menciptakan dirinya secara aktif, berbuat, menjadi, dan merencanakan. Di dalam
eksistensialisme manusia dipandang sebagai terbuka. Manusia adalah realitas
yang belum selesai, yang masih harus dibentuk. Pada hakikatnya manusia terikat
kepada dunia sekitarnya, terlebih lagi pada manusia sekitarnya. Jika manusia mampu
menginterpretasikan semuanya terbangun atas pengalamannya maka tujuan
pendidikan adalah memberi pengalaman yang luas dan kebebasan namun memiliki
aturan-aturan. Dengan 4 tema kebebasan yaitu Kecemasan,
kematian, kehidupan yang otentik (menjadi diri yang otentik), dan ketiadaan. Peranan guru adalah melindungi dan
memelihara kebebasan akademik namun disisi lain guru sebagai motivator dan
fasilitator.
3.2 Saran
Menurut
kami filsafat eksistensialisme lebih menfokuskan pada pengalaman-pengalaman
manusia. Sebaiknya, manusia mampu menginterpretasikan semuanya atas
pengalamannya. Sebab tujuan pendidikan adalah memberi pengalaman yang luas dan
kebebasan namun memiliki aturan-aturan. Maka peranan guru disini untuk
melindungi dan memelihara kebebasan akademik dan guru juga harus sebagai
motivator dan fasilitator. Dengan begini maka mereka lebih siap menghadapi masa
yang akan datang dengan berbagai tantangan yang akan mereka hadapi.
DAFTAR PUSTAKA
Tafsir, Ahmad. 2013. FILSAFAT UMUM Akal dan Hati sejak Thales
sampai Capra. Bandung. PT REMAJA ROSDAKARYA.
Abidin,
Zainal. 2014. FILSAFAT MANUSIA Memahami
Manusia Melalui Filsafat. Bandung. PT REMAJA ROSDAKARYA.
Komentar
Posting Komentar