PENILAIAN DALAM KURIKULUM 2013

  BAB I  PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengetahui hasil yang telah dicapai oleh pendidik dalam proses pembelajaran adalah melalui evaluasi. Evaluasi merupakan sub sistem yang sangat penting dan sangat dibutuhkan dalam setiap sistem pendidikan, karena evaluasi dapat mencerminkan seberapa jauh perkembangan atau kemajuan hasil pendidikan. Dalam setiap pembelajaran, pendidik harus berusaha mengetahui hasil dari proses pembelajaran yang dilakukan. Pentingnya diketahui hasil ini karena dapat menjadi salah satu patokan bagi pendidik untuk mengetahui sejauh mana proses pembelajaran yang dilakukan dapat mengembangkan potensi peserta didik. Dengan evaluasi, maka maju dan mundurnya kualitas pendidikan dapat diketahui, dan dengan evaluasi pula, kita dapat mengetahui titik kelemahan serta mudah mencari jalan keluar untuk berubah menjadi lebih baik ke depan. Suatu sistem adalah jalinan antar beberapa komponen yang saling terkait dan saling mempengaru

FILSAFAT PENDIDIKAN EKSISTENSIALISME

MAKALAH
FILSAFAT PENDIDIKAN EKSISTENSIALISME
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas pada matakuliah Filsafat Pendidikan pada Semester Genap Tahun Akademik 2017/2018
dengan dosen pembimbing Dety Amelia Karlina, S.S., M.Pd.







Oleh:
Kelompok        : 5
Kelas               : 1A
Ketua               : Yusuf Abdul Rohman           1702514 / 43
Anggota           : 1. Aditya Rizkiansyah           1702471 / 40
     2. Intan Mira Restiana          1702508 / 42
     3. Riah                                  1701639 / 31
     4. Sriana JSR Simanjuntak 1701676 / 32



PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
KAMPUS SUMEDANG
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2018



KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah Swt karena atas limpahan rahmat dan ridho-Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Filsafat Pendidikan ini yang berjudul “Filsafat Pendidikan Eksistensialisme”. Tidak lupa shalawat dan salam semoga selalu tercurah limpah kepada Nabi Muhammad Saw.
Makalah ini telah kami susun secara maksimal atas bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, sehingga makalah ini dapat selesai dengan lancar dan tepat pada waktunya, untuk itu kami selaku penyusun berterima kasih kepada Ibu Dety Amelia Karlina S.S. M.Pd.  selaku dosen mata kuliah Filsafat Pendidikan.
Kami menyadari bahwa makalah yang kami buat jauh dari kata sempurna dan masih memiliki banyak kekurangan, oleh sebab itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca, guna menghasilkan makalah yang lebih baik.
Semoga makalah yang kami susun dapat memberikan manfaat dan menambah wawasan bagi pembaca.

Sumedang,  Februari  2018

          Penulis






DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .......................................................................................................... 
DAFTAR ISI .......................................................................................................................
BAB 1 PENDAHULUAN ....................................................................................................
1.1 Latar Belakang Masalah ...................................................................................
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................... 
1.3 Tujuan Pembahasan ........................................................................................ 
BAB 2 PEMBAHASAN ......................................................................................................
2.1 Pengertian Aliran Filsafat Eksistensialisme ..................................................... 
2.2 Tokoh-Tokoh Filsafat aliran Eksistensialisme .................................................. 
2.3 Tema Eksitensialisme yang Mendasari Perilaku Manusia .............................. 
2.4 Filsafat Pendidikan Eksistensialisme ...............................................................
2.5 Implikasi di Sekolah tentang Aliran Filsafat Pendidikan Eksistensialisme....... 
2.6 Pandangan Filsafat Eksistensialisme...............................................................
2.7 Implikasi Filsafat Eksistensialisme dalam Pendidikan......................................
BAB 3 PENUTUP .............................................................................................................
3.1 Simpulan ..........................................................................................................
3.2 Saran ................................................................................................................ 
DAFTAR PUSTAKA


BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Aliran filsafat eksistensialisme merupakan salah satu aliran yang telah mengguncangkan dunia setelah selesai perang dunia ke dua. Eksistensialisme kemunculannya didorong oleh situasi dunia, khususnya yang berasal dari eropa barat dimana disanalah tempat lahirnya eksistensialisme. Pada saat itu keadaan dunia tidak menentu, rasa takut berkecamuk terutama rasa takut terhadap ancaman perang, penampilan manusia penuh rahasia, imitasi, kebencian merajalela, dan agama di eropa barat dianggap tidak mampu lagi memberikan makna pada kehidupan. Dalam keadaan itulah eksistensialisme muncul yang menjadikan manusia sebagai subjek dan sekaligus objek sentral dalam perenungan.
Sifat materialisme ternyata merupakan pendorong lahirnya eksistensialisme karena yang dimaksud eksistensi ialah cara orang berada di dunia. Kata berada pada manusia tidak sama dengan berada nya pohon atau batu, namun pada pandangan materialisme mengatakan manusia hanyalah sesuatu yang material yang memang betul betul hanya sebagai materi (objek). Selain itu eksistensialisme juga lahir sebagai reaksi terhadap idealisme karena idealisme menjadikan seluruh manusia sebagi subjek bahkan di lebih lebihkan lagi sampai menjadi tidak ada barang lain selain pikiran. Nah disitulah materialisme dan idealisme dihantam oleh eksistensialisme.
Eksistensialisme sendiri menyatakan bahwa cara berada manusia dan benda yang lain tidaklah sama. Manusia berada di dunia, sapi dan pohon juga. Tetapi cara berada nya tidak sama, manusia menyadari dan mengalami beradanya di dunia, manusia menghadapi dunia dengan mengerti yang dihadapinya dan yang terpenting manusia mengerti bahwa hidupnya mempunyai arti.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Aliran Filsafat Eksistensialisme?
2. Siapa saja tokoh-tokoh Aliran Filsafat Eksistensialisme?
3. Apa yang dimaksud dengan Filsafat Pendidikan Eksistensialisme?
4. Apa yang menjadi Tema Eksistensialisme yang mendasari Perilaku Manusia?
5. Bagaimana Filsafat Eksistensialisme dalam Pendidikan?
6. Bagaimana Pandangan Filsafat Ekstensialisme tentang Realitas, Pengetahuan,
Nilai dan Pendidikan?


7. Bagaimana Implikasi di Sekolah tentang Filsafat Pendidikan Eksistensialisme?
1.3 Tujuan Pembahasan
1.  Untuk mengetahui dan memahami apa yang dengan Aliran Filsafat
 Eksistensialisme.
2.  Untuk mengetahui tokoh-tokoh Aliran Filsafat Eksistensialisme.
3. Untuk mengetahui dan memahami Apa yang dimaksud dengan Filsafat  Pendidikan Eksistensialisme.
4.  Untuk mengetahui Tema Eksistensialisme yang mendasari Perilaku Manusia.
5.  Untuk mengetahui Filsafat Eksistensialisme dalam Pendidikan.
6.  Untuk mengetahui Pandangan Filsafat Ekstensialisme tentang Realitas,
 Pengetahuan, Nilai dan Pendidikan.
7.  Untuk mengetahui Implikasi di Sekolah tentang Filsafat Pendidikan  
Eksistensialisme.


BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Filsafat
Kata filsafat berasal dari kata ‘philosophia’ (bahasa Yunani), yang artinya ‘mencintai kebijaksanaan’. Dalam nahasa Inggris kata filsafat disebut dengan istilah ‘philosophy’, dan dalam bahasa Arab disebut dengan istilah ‘falsafah’, yang artinya ‘cinta kearifan’. Istilah philosophia berasal dari kata philien yang berarti mencintai dan sophos yang artinya bijaksana. Dapat disimpulkan bahwa filsafat berarti cinta kebijaksanaan. Sedangkan orang yang berusaha mencari kebijaksanaan atau pencinta pengetahuan disebut dengan filsuf atau filosof.
2.2 Pengertian Aliran Filsafat Eksistensialisme
Eksistensialisme berasal dari kata dasar eksistensi "existency" adalah exist yang berasal dari bahasa latin ex yang berarti keluar dan sistere yang berarti berdiri. Jadi eksistensi adalah berdiri dengan keluar dari diri sendiri. Dalam bahasa Jerman disebut dasein. Da arti nya disana, sein berarti berada. Berada disana mengandung makna ditempat yang artinya manusia sadar akan tempatnya dan dirinya sendiri.  Filsafat eksistensi tidak sama persis dengan filsafat eksistensialisme (Hassan, 1974:7). Dimana filsafat eksistensi adalah filsafat yang menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral. Eksistensialisme merupakan aliran filsafat yang memandang berbagai gejala dengan berdasar pada eksistensinya. Artinya bagaimana manusia berada (bereksistensi) dalam dunia.
2.3 Tokoh-Tokoh Filsafat aliran Eksistensialisme
2.3.1 Soren Kierkegaard (1813-1855)
Soren Kierkegaard merupakan seorang filsuf asal Denmark dia merupakan pencetus aliran filsafat eksistensialisme dia sering disebut sebagai bapak filsafat eksistensialisme. Menurut kiergaard filsafat tidak merupakan suatu sistem, tetapi suatu pengekspresian eksistensi individual. Pertama-tama Kierkegaard memberikan kritik terhadap Hegel, karena Hegel meremehkan  eksistensi yang kongkret dan lebih mengutamakan idea yang sifatnya umum. Menurut Kierkegaard manusia tidak pernah hidup sebagai “aku umum” tapi sebagai “aku individual” yang unik dan tidak dapat dijabarkan oleh sesuatu yang lain. Kierkegaard memperkenalkan “eksistensi” yang artinya hanya manusia yang bereksistensi, dan eksistensi saya tidak saya jalankan satu kali untuk selamanya, tapi saat saya menjadi objek pemilihan baru. Bereksistensi


ialah bertinda. Tidak ada orang lain yang bisa menggantikan tempat saya untuk bereksistensi atas nama saya sendiri.
2.3.2 Jean paul Sartre (1905-1980)
Jean paul Sartre merupakan filsuf berkebangsaan Prancis yang lahir pada tahun 1905-an, dia merupakan seorang tokoh penting yang menyebarkan filsafat eksistensialisme sekalipun pada dasarnya buah pikirannya merupakan pengembangan dari Kierkegaard namun dia mengembangkannya dengan amat jauh. Menurut eksistensialisme, eksistensi manusia mendahului essensinya dan berarti manusia harus bertanggung jawab untuk apa ia ada., formula inilah yang merupakan prinsip pertama dan yang utama dalam filsafat eksistensialisme. Misalnya jika sesorang mau membuat suatu barang, misalnya buku, ia semestinya telah mempunyai konsepnya, selanjutnya dibuatlah sebuah buku sesuai dengan konsep yang ada. Konsep buku merupakan masa praeksistensi dari sudut terwujudnya buku, dapat dibayangkan jika seseorang membuat buku tanpa konsep. Dapat disimpulkan bahwa konsep buku merupakan esensi buku, sedangkan buku adalah wujud eksistensinya.
2.3.3 Karl Theodor Jaspers (1883-1969)
Karl Theodor Jaspers adalah seorang filsuf eksistensialisme dari Jerman. Ia lahir pada tahun 1883 Eksistensialismenya ditandai dengan pemikiran yang menggunakan semua pengetahuan obyektif serta mengatasi pengetahuan obyektif sehingga manusia sadar akan dirinya sendiri dan memandang filsafat bertujuan mengembalikan manusia kepada jatidirinya kembali.  Ada dua fokus pemikiran Jasper, yaitu eksistensi dan transendensi. Pada eksistensialisme Jaspers berkiblat pada Kierkegaard, namun banyak juga dipengaruhi oleh para filsuf lain. Jika dibandingkan dengan para filsuf eksistensialisme lain, Jaspers adalah filsuf yang pemikirannya memperlihatkan suatu sistem yang tersusun sistematis dan rapi. Karya Jaspers yang paling penting untuk mengetahui pemikirannya adalah "Filosofi" yang ditulis pada tahun 1932. Pemikiran Jaspers yang paling dikenal adalah tentang "chiffer-chiffer" dan "situasi batas". Ada empat "situasi batas" yang menantang manusia untuk mewujudkan dirinya dengan lebih penuh: Kematian, Penderitaan, Perjuangan,dan Kesalahan. "Situasi batas" ini bersifat mendua, sebab eksistensi seseorang dapat berkembang maju atau malah mundur ketika berhadapan dengan "situasi batas" tersebut. Hal itu tergantung dari pilihan yang diambil oleh orang tersebut.

2.3.4 Martin Heidegger (1889-1976)    
Martin Heidegger adalah seorang filsuf asal Jerman. Dia merupakan penggas fenomenologi tetapi memunyai pengaruh yang besar dalam filsafat eksistensialisme Menurut Hidegger manusia itu terbuka bagi dunianya dan sesamanya. Kemampuan seseorang untuk bereksistensi dengan hal-hal diluar dirinya karena memiliki kemampuan seperti kepekaan, pengertian, pemahaman, perkataan, atau pembicaraan. Yang dimaksud dengan mengerti dan memahami ialah bahwa manusia dengan kesadarannya akan berdaya diantara benda-benda lainnya harus berbuat sesuatu untuk menggunakan kemungkinan-kemungkinan yang ada pada dirinya dan memberi arti manfaat pada dunia dalam kemungkinan- kemungkinannya. Bagi Heidegger, untuk mencapai manusia yang utuh maka manusia itu harus merealisasikan segala potensinya – meski dalam kenyataannya seseorang itu tidak mampu merealisasikan semua itu, ia tetap berusaha sekuat tenaga dan mempertanggungjawabkan atas potensi yang belum teraktualisasikan.
2.4 Tema Eksistensialisme yang Mendasari Perilaku Manusia
Menurut Martin Heidegger ada 8 tema eksistensi yaitu,
1. Eksistensi sebagai milik pribadi dan berada dalam waktu
2. Ada dalam dunia.
3. Orang atau manusia impersonal.
4. Suasana hati dan fatisitas.
5. Kecemasan dan ketiadaan.
6. Kematian dan hati nurani.
7. Keprihatinan dan temporalitas.
8. Historisitas.
Ada 5 tema yang dsimpulkan yaitu 1 kebebasan (pilihan bebas).Dimana manusia memiliki hak untuk merdeka (kebebasan) untuk melakukan sesuatu yang diinginkannya.
2.4.1 Kecemasan.
Dalam hali ini pandangan eksistensialisme melihat dari kejiwaan manusianya yang memiliki pikiran dan perasaan kahwatid tentang suatu ha sehingga mengakibatkan manusia itu cwnderung lebih berpikir negatif dan kahwatir tentang akan hal apa yang terjadi dalam hidupnya.
2.4.2 Kematian.
Dalam hal ini Jean Paul Sartre dan Albert Camus mengatakan bahwa kematian merupakan kejadian berakhirnya eksistensi manusia dan merupakan puncak absurditasvmanusia dalam meraih keotentikan hidup. Dalam hal ini ada ahli filsafat yang mengatakan juga bahwa kematian merupakan landasan bagimanusia untuk menciptakan kehidupan bermakna dan sekaligus wahana untuk merealisasikan penyempurnaan eksistensinya. Dalam pandangan ini menjelaskan bahwa krmatian adalah finsh nya eksistensi manusia dan dimana pada puncak inilah penyempurnaan manusia tersebut.
2.4.3 Kehidupan yang otentik (menjadi diri yang otentik).
Menjadi pribadinya masing-masing dan memiliki tanggung jawab besar atas pribadinya. Dan juga pribadi yang tanpa mengikat orang lain dan tidak menggantukan diri pada orang lain.
2.4.4 Ketiadaan.
Eksistensi berpandangan bahwa ketiadaan ini sebagai kemungkinan manusiawi yang selalu ada dan bisa saja dialami dan tidak pernah terhapuskan sama sekali. Bisanya ini bersumber dari kekosongan jiwa menurut para eksistensialisme. Di dalam ketiadaan ini manusia merasa tiada bukan saja terhadap sesama dan pekerjaannya, tetapi juga terhada dirinya sendiri.
2.5 Filsafat Eksistensialisme dalam Pendidikan
Filsafat eksistensialisme memiliki 3 bentuk dalam pendidikan yaitu:
1. Pengetahuan, dimana eksistensialisme berpandangan bahwa penampakan benda-benda dan peristiwa yang terjadi itu semua menampakkan dirinya terhadap kesadaran manusi. Dengan pengentahuan ini eksistensialisme mengacu pada kemampuan manusia untuk menemukan kebenaran demi kebenaran.
2. Nilai, dimna manusia memiliki kebebasan dalam melakukan apapun. Kebebasan yang dimaksud pada bagian ini berarti bukan bebas dalam memilih semaunya saja akan tetapi kebebasan untuk memilih namun menentukan pilihan diantara pilihan-pilihan terbaik adalah hal yang paling sulit dimana untuk mencapai tujuan tersebut seseorang harus menerima akibat-akibat yang akan terjadi dalammenjalankan tujuan tersebut.
3. Pendidikan, hal ini sangat memfokuskan pada peningkatan seseorang secara pribadi dalam pendidikan ini eksistensialisme mengajarkan setiap manusia memiliki Masalah yang sama dimana manusi,hidup,hubungan antar manusia, hakikat kepribadian, dan kebebasan, bahkan dalam menentukan nasibnya masing-masing. Dalam hal ini eksistensialisme adalah "keberadaan" manusia, sedangkan pendidikan hanya dilakukan manusia.


2.6 Pandangan Filsafat Eksistensialisme tentang Realitas, Pengetahuan, Nilai dan
Pendidikan
2.6.1. Realitas
Menurut aliran eksistensialisme ini, realitas adalah kenyataan atau fakta yang terjadi pada hidup itu sendiri. Untuk melihat realitas yang ada, manusia harus melihat apa yang ada dalam dirinya, bukan yang ada di luar kondisi dirinya.
2.6.2. Pengetahuan
Teori pengetahuan eksistensialisme banyak dipengaruhi oleh filsafat fenomenologi, suatu filsafat yang menekankan pada pandangan tentang penampakan benda-benda dan peristiwa-peristiwa sebagaimana benda-benda tersebut menampakan dirinya terhadap kesadaran manusia. Pengetahuan manusia tergantung kepada pemahamannya tentang realitas yang terjadi pada dirinya, dan pada interpretasi manusia terhadap realitas, pengetahuan yang diberikan di sekolah bukan sebagai alat untuk mendapatkan pekerjaan, melainkan untuk dijadikan sebagai alat mengukur perkembangan dan alat pemenuhan diri. Pelajaran di sekolah sebagai alat untuk merealisasikan diri, bukan merupakan suatu tuntutan dimana anak harus patuh dan tunduk terhadap isi pelajaran tersebut. Biarkanlah mereka mempunyai pribadi yang berkembang untuk menemukan kebenaran-kebenaran dalam kebenaran dalam dirinya.
2.6.3. Nilai
Pemahaman akan eksistensialisme terhadap nilai yang menekankan pada kebebasan dalam tindakan. Kebebasan bukan suatu tujuan atau suatu cita-cita dalam dirinya sendiri, melainkan merupakan suatu potensi untuk melakukan suatu tindakan. Manusia memiliki kebebasan untuk memilih, namun menentukan pilihan-pilihan di antara pilihan-pilihan tersebut yang terbaik adalah sukar untuk dilakukan. Berbuat akan menghasilkan suatu akibat, dimana seseorang harus menerima akibat-akibat tersebut sebagai pilihannya. Kebebasan tidak akan pernah selesai, karena setiap akibat akan melahirkan kebutuhan untuk pilihan berikutnya. Tindakan moral mungkin dilakukan untuk moral itu sendiri tidak untuk hal yang lain, dan mungkin juga untuk suatu tujuan. Seseorang harus memiliki kemampuan untuk menciptakan suatu tujuannya sendiri. Apabila seseorang mengambil tujuan kelompok atau masyarakat, maka ia harus menjadikan tujuan-tujuan tersebut sebagai miliknya dan sebagai tujuan sendiri, dimana ia harus mencapai dalam setiap situasi. Jadi, tujuan diperoleh akibat adanya situasi.
2.6.4. Pendidikan
Eksistensialisme sebagai filsafat, sangat menekankan individualitas dan pemenuhan diri secara pribadi. Setiap individu dipandang sebagai makhluk yang unik, dan secara unik pula ia bertanggungjawab terhadap nasibnya. Dalam hubungannya dengan pendidikan, situasi pribadi mengemukakan bahwa eksistensialisme berhubungan sangat erat sekali dengan pendidikan, karena keduanya saling bersinggungan pada masalah-masalah yang sama, yaitu manusia, hidup, hubungan antar manusia, hakikat kepribadian, dan kebebasan (kemerdekaan). Pusat pembicaraan eksistensialisme adalah keberadaan manusia, sedangkan pendidikan hanya dilakukan oleh manusia.

2.7 Implikasi Filsafat Eksistensialisme dalam Pendidikan
Menurut A. Chaedar alwashilah, di dalam kelas, guru berperan sebagai fasilitator untuk membiarkan siswa berkembang menjadi dirinya dengan memberikan berbagai bentuk jalan untuk dilalui. Karena perasaan tidak terlepas dari nalar, maka kaum eksistensilis menganjurkan pendidikan sebagai cara membentuk manusia secara utuh, bukan hanya sebagai pembengunan nalar. Sejalan dengan tujuan itu kuriklum menjadi fleksibel dengan menyajikan sejumlah pilihan untuk dipilih siswa. Dapat ditebak bahwa pelajaran-pelajaran humaniora akan mendapat penekanan relatif besar. Kelas mesti kaya dengan materi ajar yang memungkinkan siswa melakukan ekspresi diri, atara lain dalam bentuk karya sastra film, dan drama. Semua itu merupakan alat untuk memungkinkan siswa “berfilsafat” tentang makna dari pengalaman hidup, cinta, dan kematian. Pendidikan vokasional lebih sebagai cara mengajar siswa mengenal dirinya bukan untuk mendapatkan penghidupan. Dalam bidang seni, aliran ini mendorong kreatifitas dan imaginasi siswa bukan sekedar meniru dan membeo apa yang sudah ada. Siswa dilihat sebagai individu, dan belajar seyogianya disesuaikan dengan kecepatan siswa dan siswa mengarahkan belajar untuk kepentingan dirinya sendiri.
Uyoh Sadulloh dalam bukunya Filsafat Pendidikan, menjelaskan tentang implikasi filsafat eksistensialisme dalam pendidikan sebagai berikut:
1.      Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan adalah untuk mendorong setiap individu agar mampu mengembangkan semua potensinya untuk pemenuhan diri. Setiap individu memiliki kebutuhan dan perhatian yang spesifik berkaitan dnegan pemenuhan dirinya, sehingga dalam menentukan kurikulum tidak ada kurikulum yang pasti dan ditentukan berlaku secar umum.
2.      Kurikulum
Kaum eksistensialis menilai kurikulum berdasarkan pada apakah hali itu berkontribusi pada pencarian individu akan makna dan muncul dalam suatu tingkatan kepekaan personal disebut Greene “kebangkitan yang luas”. Kurikulum ideal adalah kurikulum  yang memberikan para siswa kebebasan individual yang luas dan mensyaratkan mereka untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan, melaksanakan pencarian-pencarian mereka sendiri, dan menarik kesimpulan-kesimpulan mereka sendiri.
Menurut pandangan eksistensialisme, tidak ada satu mata pelajaran tertentu yang lebih penting daripada yang lainnya. Mata pelajaran merupakan materi dimana individu akan dapat menemukan dirinya dan kesadaran akan dunianya.
Kurikulum eksistensialisme memberikan perhatian yang besar terhadap humaniora dan seni. Karena kedua materi tersebut diperlukan agar individu dapat mengadakan instrospeksi dan mengenalkan gambaran dirinya. Pelajar harus didorong untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat mengembangkan keterampilan yang dibutuhkan, serta memperoleh pengetahuan yang diharapkan. Eksistensialisme menolak apa yang disebut penonton teori. Oleh karena itu, sekolah harus mencoba membawa siswa ke dalam hidup yang sebenarnya.
3.      Proses belajar-mengajar
Menurut Kneller (1971), konsep belajar mengajar eksistensialisme dapat diaplikasikan dari pandangan Martin Buber tentang “dialog”. Dialog merupakan percakapan antara pribadi dengan pribadi, dimana setiap pribadi merupakan subjek bagi yang lainnya. Menurut Buber kebanyakan proses pendidikan merupakan paksaan. Anak dipaksa menyerah kepada kehendak guru, atau pada pengetahuan yang tidak fpeksibel, dimna guru menjadi penguasanya.
Selanjutnya buber mengemukakan bahwa, guru hendaknya tidak boleh disamakan dengan seorang instruktur. Jika guru disamakan dengan instruktur maka ia hanya akan merupakan perantara yang sederhana antara materi pelajaran dan siswa. Seandainya ia hanya dianggap sebagai alat untuk mentransfer pengetahuan, dan siswa akan menjadi hasil dari transfer tersebut. Pengetahuan akan menguasai manusia, sehingga manusia akan menjadi alat dan produk dri pengetahuan tersebut.
Dalam proses belajar mengajar, pengetahuan tidak dilimpahkan melainkan ditawarkan. Untuk menjadikan hubungan antara guru dengan siswa sebagai suatu dialog, maka pengetahuan yang akan diberikan kepada siswa harus menjadi bagian dari pengalaman pribadi guru itu sendiri, sehingga guru akan berjumpa dengan siswa sebagai pertemuan antara pribadi dengan pribadi. Pengetahuan yang ditawarkan guru tidak merupakan suatu yang diberikan kepada siswa yang tidak dikuasainya, melainkan merupakan suatu aspek yang telah menjadi miliknya sendiri.
4.      Peranan guru
Menurut pemikiran eksistensialisme, kehidupan tidak bermakna apa-apa, dan alam semesta berlainan dengan situasi yang manusia temukan sendiri di dalamnya. Kendatipun demikian dengan kebebasan yang kita miliki, masing-masing dari kita harus commit sendiri pada penentuan makna bagi kehidupan kita. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Maxine Greene (Parkay, 1998), seorang filosof pendidikan terkenal yang karyanya didasarkan pada eksistensialisme “kita harus mengetahui kehidupan kita, menjelaskan situasi-situasi kita jika kita memahami dunia dari sudut pendirian bersama”. Urusan manusia yang paling berharga yang mungkin paling bermanfaat dalam mengangkat pencarian pribadi akan makna merupakan proses edukatif. Sekalipun begitu, para guru harus memberikan kebebasan kepada siswa memilih dan memberi mereka pengalaman-pengalaman yang akan membantu mereka menemukan makna dari kehidupan mereka. Pendekatan ini berlawanan dengan keyakinan banyak orang, tidak berarti bahwa para siswa boleh melakukan apa saja yang mereka suka.
Guru hendaknya memberi semangat kepada siswa untuk memikirkan dirinya dalam suatu dialog. Guru menyatakan tentang ide-ide yang dimiliki siswa, dan mengajukan ide-ide lain, kemudian membimbing siswa untuk memilih alternative-alternatif, sehingga siswa akan melihat bahwa kebenaran tidak terjadi pada manusia melainkan dipilih oleh manusia. Lebih dari itu, siswa harus menjadi factor dalam suatu drama belajar, bukan penonton. Siswa harus belajar keras seperti gurunya.
Guru harus mampu membimbing dan mengarahkan siswa dengan seksama sehingga siswa mampu berpikir relative dengan melalui pertanyaan-pertanyaan. Dalam arti, guru tidak mengarahkan dan tidak member instruksi. Guru hadir dalam kelas dengan wawasan yang luas agar betul-betul menghasilkan diskusi tentang mata pelajaran. Diskusi merupakan metode utama dalam pandangan eksistemsialisme. Siswa memiliki hak untuk menolak interpretasi guru tentang pelajaran. Sekolah merupakan suatu forum dimana para siswa mampu berdialog dengan teman-temannya, dan guru membantu menjelaskan kemajuan siswa dalam pemenuhan dirinya.
Sedangkan menurut Power (1982), yang dikutip oleh Uyoh Sadulloh, beberapa implikasi filsafat pendidikan eksistensialisme adalah sebagai berikut:
1.      Tujuan pendidikan
Memberi bekal pengalaman yang luas dan komprehensif dalam semua bentuk kehidupan.
2.      Status siswa
Makhluk rasional dengan pilihan bebas dan tanggungjawab atas pilihannya. Suatu komitmen terhadap pemenuhan tujuan pribadi.
3.      Kurikulum
Yang diuatamakan adalah kurikulum liberal. Kurikulum liberal merupakan landasan bagi kebebasan manusia. Kebebasan memiliki aturan-aturan. Oleh karena itu, di sekolah diajarkan pendidikan sosial, untuk mengajar “respek” (rasa hormat) terhadap kebebasan untuk semua. Respek terhadap kebebasan bagi yang lain adalah esensial. Kebebasan dapat menimbulkan konflik.
4.      Peranan guru
Melindungi dan memelihara kebebasan akademik, di mana mungkin guru pada hari ini, besok lusa mungkin menjadi murid.
5.      Metode
Tidak ada pemikiran yang mendalam tentang metode, tetapi metode apapun yang dipakai harus merujuk pada tata cara untuk mencapai kebehagiaan dan karakter yang baik.


BAB 3
PENUTUP
3.1 Simpulan
Eksistensialisme merupakan aliran filsafat yang memandang berbagai gejala dengan berdasar pada eksistensinya. Bereksistensi harus diartikan bersifat dinamis.  Bereksistensi berarti menciptakan dirinya secara aktif, berbuat, menjadi, dan merencanakan. Di dalam eksistensialisme manusia dipandang sebagai terbuka. Manusia adalah realitas yang belum selesai, yang masih harus dibentuk. Pada hakikatnya manusia terikat kepada dunia sekitarnya, terlebih lagi pada manusia sekitarnya. Jika manusia mampu menginterpretasikan semuanya terbangun atas pengalamannya maka tujuan pendidikan adalah memberi pengalaman yang luas dan kebebasan namun memiliki aturan-aturan. Dengan 4 tema kebebasan yaitu Kecemasan, kematian, kehidupan yang otentik (menjadi diri yang otentik), dan ketiadaan. Peranan guru adalah melindungi dan memelihara kebebasan akademik namun disisi lain guru sebagai motivator dan fasilitator.
3.2 Saran
Menurut kami filsafat eksistensialisme lebih menfokuskan pada pengalaman-pengalaman manusia. Sebaiknya, manusia mampu menginterpretasikan semuanya atas pengalamannya. Sebab tujuan pendidikan adalah memberi pengalaman yang luas dan kebebasan namun memiliki aturan-aturan. Maka peranan guru disini untuk melindungi dan memelihara kebebasan akademik dan guru juga harus sebagai motivator dan fasilitator. Dengan begini maka mereka lebih siap menghadapi masa yang akan datang dengan berbagai tantangan yang akan mereka hadapi.


DAFTAR PUSTAKA
Tafsir, Ahmad. 2013. FILSAFAT UMUM Akal dan Hati sejak Thales sampai Capra. Bandung. PT REMAJA ROSDAKARYA.
Abidin, Zainal. 2014. FILSAFAT MANUSIA Memahami Manusia Melalui Filsafat. Bandung. PT REMAJA ROSDAKARYA.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH PENDIDIK DAN PESERTA DIDIK

RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN KONSELING

KONSEP, KARAKTERISTIK DAN JENIS ALAT PENDIDIKAN