De George juga menyatakan bahwa profesi,
adalah pekerjaan yang dilakukan sebagai kegiatan pokok untuk menghasilkan
nafkah hidup dan yang mengandalkan suatu keahlian. Profesi merupakan pekerjaan
yang di dalamnya memerlukan sejumlah persyaratan yang mendukung pekerjaannya.
Karena itu, tidak semua pekerjaan menunjuk pada sesuatu profesi.
Pengertian profesi secara singkat juga
dikemukakan Kenneth Lynn dalam M. Nurdin (2004) bahwa profesi adalah menyajikan
jasa berdasarkan ilmu pengetahuan. Mc Cully dalam M. Nurdin (2004)
menggambarkan bahwa profesi adalah Menggunakan teknik dan prosedur dengan
landasan intelektual. Sedangkan menurut Sudarwan Danim (1995) profesi adalah
pekerjaan yang memerlukan spesialisasi akademik. (Pantiwati : 2010)
Dari beberapa pengertian di atas maka
dapat disimpulkan bahwa profesi merupakan suatu pekerjaan yang menuntut
keahlian, ilmu pengetahuan, menggunakan teknik yang relevan serta harus
berkependidikan yang spesifik. Sehingga tidak semua pekerjaan adalah suatu
profesi.
2.1.2 Ciri-ciri Profesi
Suatu jabatan atau pekerjaan disebut profesi apabila
ia memiliki syarat-syarat atau ciri-ciri tertentu. Sejumlah ahli seperti
McCully, 1963; Tolbert, 1972; dan Nugent, 1981) telah merumuskan syarat-syarat
atau ciri-ciri dari suatu profesi. Dari rumusan-rumusan yang mereka kemukakan,
dapat disimpulkan syarat-syarat atau ciri-ciri utama dari suatu profesi sebagai
berikut (Prayitno : 2004):
1. Suatu profesi merupakan suatu jabatan atau
pekerjaan yang memiliki fungsi dan kebermaknaan sosial yang sangat menentukan.
2. Untuk mewujudkan fungsi tersebut pada
butir di atas para anggotanya (petugasnya dalam pekerjaan itu) harus
menampilkan pelayanan yang khusus yang didasarkan atas teknik-teknik
intelektual, dan ketrampilan-ketrampilan tertentu yang unik.
3. Penampilan pelayanan tersebut bukan hanya
dilakukan secara rutin saja, melainkan bersifat pemecahan masalah atau
penanganan situasi kritis yang menuntut pemecahan dengan menggunakan teori dan
metode ilmiah.
4. Pada anggotanya memiliki kerangka ilmu
yang sama yaitu didasarkan atas ilmu yang jelas, sistematis, dan eksplisit;
bukan hanya didasarkan atas akal sehat (common
sense) belaka.
5. Untuk dapat menguasai kerangka ilmu itu
diperlukan pendidikan dan latihan dalam jangka waktu yang cukup lama.
6. Para anggotanya secara tegas dituntut
memiliki kompetensi minimum melalui prosedur seleksi, pendidikan dan latihan,
serta lisensi atau sertifikasi.
7. Dalam menyelenggarakan pelayanan kepada
pihak yang dilayani, para anggota memiliki kebebasan dan tanggung jawab pribadi
dalam memberikan pendapat dan pertimbangan serta membuat keputusan tentang apa
yang akan dilakukan berkenaan dengan penyelenggaraan pelayanan profesional yang
dimaksud.
8. Para anggotanya, baik perorangan maupun
kelompok, lebih mementingkan pelayanan yang bersifat sosial daripada pelayanan
yang mengejar keuntungan yang bersifat ekonomi.
9. Standar tingkah laku bagi anggotanya
dirumuskan secara tersurat (eksplisit) melalui kode etik yang benar-benar
diterapkan; setiap pelanggaran atas kode etik dapat dikenakan sanksi tertentu.
10. Selama berada dalam pekerjaan itu, para
anggotanya terus-menerus berusaha menyegarkan dan meningkatkan kompetensinya
dengan jalan mengikuti secara cermat literatur dalam bidang pekerjaan itu,
menyelenggarakan dan memahami hasil-hasil riset, serta berperan serta secara
aktif dalam pertemuan-pertemuan sesama anggota.
Secara umum ada beberapa ciri atau sifat yang selalu
melekat pada profesi, yaitu:
1. Adanya pengetahuan khusus, yang biasanya
keahlian dan keterampilan ini dimiliki berkat pendidikan, pelatihan dan
pengalaman yang bertahun-tahun.
2. Adanya kaidah dan standar moral yang
sangat tinggi. Hal ini biasanya setiap pelaku profesi mendasarkan kegiatannya
pada kode etik profesi.
3. Mengabdi pada kepentingan masyarakat,
artinya setiap pelaksana profesi harus meletakkan kepentingan pribadi di bawah
kepentingan masyarakat.
4. Ada izin khusus untuk menjalankan suatu
profesi. Setiap profesi akan selalu berkaitan dengan kepentingan masyarakat, di
mana nilai-nilai kemanusiaan berupa keselamatan, keamanan, kelangsungan hidup
dan sebagainya, maka untuk menjalankan suatu profesi harus terlebih dahulu ada
izin khusus.
5. Kaum profesional biasanya menjadi anggota
dari suatu profesi.
Selain memiliki beberapa ciri khas, sebuah profesi
juga memiliki prinsip-prinsip etika. Beberapa di antaranya yaitu :
1. Tanggung jawab
a. Terhadap pelaksanaan pekerjaan itu dan
terhadap hasilnya.
b. Terhadap dampak dari profesi itu untuk
kehidupan orang lain atau masyarakat pada umumnya.
2. Keadilan
Prinsip ini menuntut kita untuk memberikan kepada
siapa saja apa yang menjadi haknya.
3. Otonomi
Prinsip ini menuntut agar setiap kaum profesional
memiliki dan di beri kebebasan dalam menjalankan profesinya
2.2 Perkembangan Profesi
Bimbingan dan Konseling
Perkembangan bimbingan dan konseling
secara lebih popular berawal dari sebuah gerakan Vocational Guidance yang
dipelopori oleh Frank Parson sekitar tahun 1908-an. Perkembangan bimbingan dan
konseling sebagai sebuah profesi hingga saat ini di Amerika dan di
negara-negara lain sudah mengarah pada tingkat kemajuan yang pesat dan
mendapatkan apresiasi yang bagus dari masyarakat.
Secara profesional bimbingan dan
konseling dapat berdiri sendiri, namun dalam konteks perkembangannya di
Indonesia bimbingan konseling yang diintegrasikan dalam pendidikan akan terkait
dengan sejumlah aturan pemerintah tentang pendidikan.
Isu profesionalisasi hampir mengenai
semua jenis profesi, setiap profesi dituntut meningkatkan mutu layanan, kinerja
dan kualitas tenaga profesinya. Profesionalitas sebuah profesi dapat dilihat
dari sertifikasi, akreditasi, sistem pendidikan dan latihan profesi, dan
lembaga/organisasi profesi yang menjadi identitas sebuah profesi, faktor-faktor
tersebut yang nantinya akan menumbuhkan kepercayaan publik pada sebuah
profesi termasuk profesi bimbingan dan konseling.
Secara hukum bagi para konselor sekolah
tidak memerlukan sertifikasi dari ABKIN, dengan mengantongi gelar kesarjanaan
S-1 pada program pendidikan bimbingan dan konseling, memberikan asas legal bagi
para konselor sekolah untuk memberikan layanan bimbingan konseling di
sekolah. Namun di lapangan sekarang ini masih banyak ditemui sejumlah
sekolah yang tidak memiliki konselor sekolah yang mempunyai pendidikan
bimbingan dan konseling. Di sinilah perlunya para konselor memahami aspek
politik yang mengatur kebijakan profesi, ABKIN seharusnya bekerja sama dengan
pemerintah untuk melindungi profesi bimbingan dan konseling, dalam hal
menyeleksi para calon konselor sekolah.
Proses untuk menjadi besar, terpercaya,
profesional, profesi bimbingan dan konseling perlu mendapat dukungan dari
seluruh praktisi yang terlibat di dalamnya dalam meningkatkan kualitas lembaga
pendidikan dan keguruan yang menghasilkan tenaga konselor yang berkualitas yang
sesuai dengan standarisasi ABKIN, sehingga pandangan yang mendiskriditkan
profesi bimbingan dan konseling dapat dikikis, dan profesi bimbingan dan
konseling mendapatkan kepercayaan dari masyarakat.
Profesionalisasi BK
juga harus memperhatikan kualitas lembaga pendidikan yang menghasilkan konselor
yang profesional. Muatan kurikulum dalam lembaga pendidikan para calon
konselor, harus mengintegrasikan standar kompetensi konselor, sehingga dalam
proses pembinaan konselor profesional dilakukan secara berkesinambungan dan
tersistematis dalam kurikulum yang diberlakukan.
ABKIN sebagai
institusi yang mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan kebijakan yang berlaku
bagi seluruh konselor, harus mampu menggandeng lembaga-lembaga pendidikan
bimbingan dan konseling, kerjasama yang dilakukan adalah dalam memantau dan
menjaga kualitas para konselor dengan proses setifikasi yang dilakukan oleh
lembaga pendidikan.
Sebuah
profesi harus memiliki ketetapan aturan karena hal tersebut berhubungan dengan
perlindungan kesejahteraan. Kepercayaan publik yang diinginkan oleh setiap
profesi ditinjau dari kejelasan regulasi yang terkait dengan program
pendidikan, stnadar kompetensi profesional, dan regulasi yang mengatur perilaku
profesional konselor (kode etik).
2.3
Sejarah Perkembangan Bimbingan dan Konseling di Indonesia
Pelayanan konseling dalam sistem
pendidikan Indonesia mengalami beberapa perubahan nama. Pada kurikulum 1984
semula disebut Bimbingan dan Penyuluhan (BP), kemudian pada kurikulum 1994
berganti nama menjadi Bimbingan dan Konseling (BK) sampai dengan sekarang.
Layanan BK sudah mulai dibicarakan di Indonesia sejak tahun 1962. Namun BK baru
diresmikan di sekolah di Indonesia sejak diberlakukan kurikulum 1975. Kemudian
disempurnakan ke dalam kurikulum 1984 dengan memasukkan bimbingan karier di
dalamnya. Perkembangan BK semakin mantap pada tahun 2001.
Fase – Fase Perkembangan Bimbingan dan Konseling
di Indonesia
1.
Perkembangan
bimbingan dan konseling sebelum kemerdekaan
Masa ini merupakan masa penjajahan
Belanda dan Jepang. Para siswa dididik untuk mengabdi demi kepentingan
penjajah. Dalam situasi seperti ini, upaya bimbingan dikerahkan. Bangsa
Indonesia berusaha untuk memperjuangkan kemajuan bangsa Indonesia
melalui pendidikan. Salah satunya adalah Taman Siswa yang dipelopori oleh K.H.
Dewantara yang menanamkan nasionalisme di kalangan para siswanya. Dari sudut
pandang bimbingan, hal tersebut pada hakikatnya adalah dasar bagi pelaksanaan
bimbingan.
2. Dekade 40-an
Dalam bidang pendidikan, pada dekade
40-an lebih banyak ditandai dengan perjuangan merealisasikan kemerdekaan
melalui pendidikan. Melalui pendidikan yang serba darurat manakala pada saat
itu diupayakan secara bertahap memecahkan masalah besar antara lain melalui
pemberantasan buta huruf. Sesuai dengan jiwa Pancasila dan UUD’45. Hal ini
pulalah yang menjadi fokus utama dalam bimbingan pada saat itu.
3. Dekade 50-an
Bidang pendidikan menghadapi
tentangan yang amat besar yaitu memecahkan masalah kebodohan dan
keterbelakangan rakyat Indonesia. Kegiatan bimbingan pada masa dekade ini lebih
banyak tersirat dalam berbagai kegiatan pendidikan dan benar-benar menghadapi
tantangan dalam membantu siswa di sekolah agar dapat berprestasi.
4. Dekade 60-an
Beberapa peristiwa penting dalam
pendidikan pada dekade ini : (a) ketetapan MPRS tahun 1966 tentang dasar
pendidikan nasional, (b) lahirnya kurikulum SMA gaya baru 1964, (c) lahirnya
kurikulum 1968, dan (d) lahirnya jurusan Bimbingan dan Konseling di IKIP tahun
1963, membuka Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan yang sekarang dikenal di
Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) dengan nama Jurusan Psikologi Pendidikan
dan Bimbingan (PPB). Keadaan tersebut memberikan tantangan bagi keperluan
pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah.
5.
Dekade
70-an
Dalam dekade ini bimbingan diupayakan
aktualisasinya melalui penataan legalitas sistem dan pelaksanaannya.
Pembangunan pendidikan terutama diarahkan kepada pemecahan masalah utama
pendidikan yaitu : (a) pemerataan kesempatan belajar, (b) mutu, (c) relevansi,
dan (d) efisiensi. Pada dekade ini, bimbingan dilakukan secara konseptual
maupun secara operasional. Melalui upaya ini semua pihak telah merasakan apa, mengapa,
bagaimana, dan dimana bimbingan dan konseling.
6.
Dekade
80-an
Pada dekade ini, bimbingan ini
diupayakan agar mantap. Pemantapan terutama diusahakan untuk menuju kepada
perwujudan bimbingan yang profesional. Dalam dekade 80-an pembangunan telah
memasuki Repelita III, IV, dan V yang ditandai dengan menuju lepas landas.
Beberapa upaya dalam pendidikan yang dilakukan dalam dekade ini: (a)
penyempurnaan kurikulum, (b) penyempurnaan seleksi mahasiswa baru, (c)
profesionalisasi tenaga pendidikan dalam berbagai tingkat dan jenis, (d)
penataan perguruan tinggi, (e) pelaksanaan wajib belajar, (f) pembukaan
universitas terbuka, dan (g) lahirnya Undang – Undang pendidikan nasional.
Beberapa kecenderungan yang dirasakan
pada masa itu adalah kebutuhan akan profesionalisasi layanan, keterpaduan
pengelolaan, sistem pendidikan konselor, legalitas formal, pemantapan
organisasi, pengembangan konsep-konsep bimbingan yang berorientasi Indonesia,
dsb.
7.
Bimbingan
berdasarkan Pancasila
Bimbingan mempunyai peran yang amat
penting dan strategis dalam perjalanan bangsa Indonesia secara keseluruhan.
Manusia Indonesia yang dicita-citakan adalah manusia Pancasila dengan ciri-ciri
sebagaimana yang terjabar dalam P-4 sebanyak 36 butir bagi bangsa
Indonesia, Pancasila merupakan dasar negara, pandangan hidup, kepribadian
bangsa dan ideologi nasional. Sebagai bangsa, Pancasila menuntut bangsa
Indonesia mampu menunjukkan ciri-ciri kepribadiannya di tengah-tengah pergaulan
dengan bangsa lain. Bimbingan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari
pendidikan dan mempunyai tanggung jawab yang amat besar guna mewujudkan manusia
Pancasila karena itu seluruh kegiatan bimbingan di Indonesia tidak lepas dari Pancasila.
Sedangkan berdasarkan penelaahan yang
cukup kritis terhadap perjalanan historis gerakan bimbingan dan konseling di
Indonesia, Prayitno (2003) yang dikutip oleh Widyawati Hakiem pada blognya yang
berjudul Sejarah Bimbingan dan Konseling di Amerika dan Indonesia, mengemukakan
bahwa periodesasi perkembangan gerakan bimbingan dan konseling di Indonesia
melalui lima periode yaitu:
Periode
|
Peristiwa
|
Periode I II
Pra wacana dan
Pengenalan
(1960 – sampai
1970–an)
|
Berpuncak pada
dibukanya jurusan Bimbingan dan Penyuluhan pada tahun 1963 di IKIP Bandung
sekarang UPI. Sampai pada akhirnya diluluskan sarjana BP dan memperkenalkan
perlu adanya layanan BP kepada masyarakat akademik dan pendidik.
|
Periode III
Pemasyarakatan (1970
sampai 1980-an)
|
Diberlakukan kurikulum
1975. Pada tahun ini dibentuk organisasi profesi BP dengan nama IPBI (Ikatan
Petugas Bimbingan Indonesia). Pada periode ini ditandai juga dengan
pemberlakuan kurikulum 1984, layanan BP difokuskan pada bidang bimbingan
karier. Pada periode ini muncul beberapa permasalahan seperti (1)
berkembangnya pemahaman yang keliru, yang mengidentikkan bimbingan karier
(BK) dengan bimbingan penyuluhan (BP), sehingga muncul istilah BK/BP, (2)
kerancuan dalam mengimplementasikan SK Menpen No. 26/Menpen/1989 terhadap
penyelenggaraan layanan bimbingan di sekolah.
|
Periode IV
Konsolidasi (1980 –
2000)
|
Pada periode ini IPBI
berusaha keras untuk mengubah kebijakan bahwa pelayanan BP itu dapat
dilaksanakan oleh semua guru, ditandai oleh (1) diubahnya secara resmi kata
penyuluhan menjadi konseling: istilah yang dipakai sekarang adalah bimbingan
konseling/BK, (2) pelayanan BK di sekolah hanya dilaksanakan oleh guru
pembimbing yang secara khusus ditugasi untuk itu, (3) mulai diselenggarakan
penataran (nasional dan daerah) untuk guru-guru pembimbing, (4) mulai adanya
formasi untuk pengangkatan menjadi guru pembimbing, (5) pola pelayanan BK di
sekolah “dikemas? Dalam “BK pola 17”, dan (6) dalam bidang kepengawasan
sekolah dibentuk kepengawasan bidang BK, (7) dikembangkan sejumlah pengaduan
pelayanan BK di sekolah yang lebih operasional oleh IPBI
|
Periode V
Lepas landas
|
Setelah tahun 2001
terdapat beberapa peristiwa yang dapat dijadikan tongkat bagi pengembangan
profesi konseling menuju era lepas landas, yaitu : (1) penggantian nama
organisasi IPBI menjadi ABKIN (Asosiasi Bimbingan Konseling), (2) lahirnya
undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang di
dalamnya termuat ketentuan bahwa konselor termasuk salah satu jenis tenaga
pendidik (Bab 1 Pasal 1 Ayat 4), (3) kerja sama pengurus besar ABKIN dengan
Dikti Depdiknas tentang standarisasi profesi konseling, (4) kerja sama ABKIN
dengan Direktorat PLP dalam merumuskan kompetensi guru pembimbing (konselor).
|
Dalam konteks pendidikan seutuhnya,
layanan bimbingan dan konseling di sekolah merupakan suatu hal yang esensial.
Danne Borders & Sandra M. Drury dalam Yusuf (1995: 66), menyatakan bahwa
“intervensi bimbingan dan konseling mempunyai dampak substansial terhadap
perkembangan pribadi dan pendidikan siswa. Kendatipun demikian harus pula
disadari bahwa produk pendidikan yang dihasilkan secara maksimal bukanlah
semata-mata hasil bimbingan dan konseling, akan tetapi paling tidak keberadaan
layanan bimbingan dan konseling memegang peranan yang cukup berarti dalam
keseluruhan penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Dalam hal ini, dapat
dipahami upaya memfasilitasi perkembangan siswa, harus dilakukan secara
sinergis antara pendekatan pembelajaran (instructionalapproach)
dengan pendekatan bimbingan konseling (psycho-educationalapproach).
Arthur J. Jones (1963: 8),
mengemukakan bahwa “apabila dalam suatu proses pendidikan, individu yang
bersangkutan menentukan sendiri perubahan bagi dirinya atau membuat perubahan
bagi dirinya sendiri, maka bimbingan tidak ada, sebab individu yang
bersangkutan mendidik dirinya sendiri, tetapi kalau pendidik itu membantu
individu untuk memilih, maka bimbingan baru ada”.
Permasalahan dalam penyelenggaraan
program bimbingan dan konseling sampai saat ini adalah sebagai berikut : (
Syamsu Yusuf & Juntika Nurihsan.2005 : 100-101)
Masih terdapat kesenjangan rasio
konselor (guru pembimbing) dengan jumlah sekolah dan jumlah peserta didik di
setiap jenjang pendidikan.
1. Dampak
dari kesenjangan dari jumlah konselor dan jumlah sekolah atau jumlah peserta
didik adalah : (1) di sekolah-sekolah tertentu tidak ada guru pembimbing, (2)
di sekolah tertentu terdapat guru pembimbing walaupun tidak sesuai dengan
jumlah peserta didik di sekolah tersebut, (3) untuk menutupi kekurangan guru
pembimbing tidak jarang kepala sekolah mengangkat guru bidang studi untuk
menjadi guru bimbingan konseling.
2. Pengangkatan
guru bidang studi menjadi guru pembimbing di satu sisi memberikan impresi
positif bagi penyelenggaraan program BK di sekolah, karena ada kepedulian
kepala sekolah terhadap program BK. Namun di sisi lain kebijakan tersebut
memberikan dampak yang kurang baik bagi profesi bimbingan yaitu melahirkan
citra buruk bagi profesi bimbingan dan konseling itu sendiri, karena dilakukan
oleh orang-orang yang tidak memiliki keahlian tentang BK
3. Meskipun
bimbingan dan konseling dipandang sebagai kegiatan profesional, namun secara hukum
belum terproteksi oleh standar kode etik yang kokoh, yang dapat memberikan
jaminan bahwa hanya lulusan pendidikan konselor yang bias mengemban tugas atau
memberikan layanan bimbingan konseling
4. Bimbingan
konseling masih belum familier di kalangan masyarakat. Populasinya masih
terbatas dalam komunitas tertentu, dan di lingkungan (yaitu sekolah) yang
seyogyanya sudah akrab dan apresiatif terhadap BK
5. Masih
ada kepala sekolah yang belum memahami secara tepat program bimbingan dan
konseling di sekolah, sehingga akhirnya mereka suka memberikan tugas kepada
guru pembimbing mismatch, tidak
proporsional atau tidak sesuai dengan peran yang sebenarnya. Sehingga guru
pembimbing diberi tugas dengan kegiatan yang berseberangan
6. Citra
bimbingan konseling semakin diperburuk dengan masih adanya guru pembimbing yang
kinerjanya tidak profesional, masih lemah dalam : (a) memahami konsep-konsep
bimbingan secara komprehensif, (b) menyusun program bimbingan dan konseling,
(c) mengimplementasikan teknik-teknik bimbingan dan konseling, (d) kemampuan
berkolaborasi dengan pimpinan sekolah atau guru mata pelajaran, (e) mengelola
bimbingan dan konseling, (f) mengevaluasi program (proses dan hasil) bimbingan
dan konseling dan melakukan tindak lanjut (followup)
hasil evaluasi untuk perbaikan atau pengembangan program, dan (g) penampilan
kualitas pribadinya yaitu dinilai masih kurang percaya diri, kurang ramah,
kurang kreatif, kurang kooperatif dan kolaboratif.
7. LPTK
yang menyelenggarakan pendidikan bagi calon guru pembimbing (konselor) masih
belum memiliki kurikulum mantap untuk melahirkan konselor profesional.
Komentar
Posting Komentar